Jumat, 10 April 2009

Taqlid dan Ijtihad (3)

Soal:
Apakah boleh berpindah dari Mujtahid A’lam (lebih alim) dalam masalah-masalah kontemporer karena dia tidak dapat (mempunyai) fatwa tentangnya dari dalil-dalil yang terperinci ?
Jawab:
Jika mukallaf hendak berhati-hati dalam masalah itu atau tidak dapat (berhati-hati) dan dia mendapatkan seorang mujtahid lain yang a’lam dalam masalah itu, maka dia wajib berpindah dan ber-taqlid kepadanya.

Soal: Apakah untuk berpindah dari fatwa-fatwa Imam Khomeini r.a. harus merujuk kepada fatwa mujtahid yang diminta darinya izin untuk tetap ber-taqlid kepada mujtahid yang telah wafat ? Ataukah boleh merujuk kepada mujtahid yang lain ?
Jawab:
Berpindah taqlid tidak membutuhkan (meminta) izin, tetapi boleh pindah kepada mujtahid yang memenuhi syarat-syarat sahnya taqlid.

Soal:
Orang yang ber-taqlid kepada Imam Khomeini r.a. dan (sampai sekarang) tetap ber-taqlid kepadanya, apakah diperbolehkan merujuk kepada selainnya dalam suatu masalah tertentu, seperti tidak menganggap kota Teheran termasuk kota besar ?*)
Jawab:
Boleh. Akan tetapi, sebaiknya tidak meninggalkan kehati-hatian untuk tetap ber-taqlid kepada Imam Khomeini, kalau dia melihatnya lebih a’lam dari mujtahid-mujtahid yang hidup.
*) Imam Khomeini r.a. membagi kota pada dua kategori : besar dan tidak besar. Kota besar seperti Teheran, Jakarta, dan lain-lain mempunyai ketentuan-ketentuan fatwa tersendiri sehubungan dengan safar.

Soal:
Saya sampai pada usia akil baligh pada saat Imam Khomeini masih hidup dan saya ber-taqlid kepadanya dalam beberapa masalah. Namun masalah taqlid bagi saya (waktu itu) belum jelas, maka apakah kewajiban saya sekarang ?
Jawab:
Jika Anda melakukan perbuatan-perbuatan ritual dan lainnya pada saat Imam Khomeini hidup itu sesuai dengan fatwa-fatwanya dan ber-taqlid kepadanya, meskipun pada beberapa masalah saja, maka Anda boleh tetap bertaqlid kepadanya dalam semua masalah.

Tidak ada komentar: