Senin, 28 Desember 2009

Menangis: Budaya Penghuni Surga

Rasulullah saaw bersada, “Tangisan adalah rahmat Allah bagi manusia.” Beliau juga bersabda,“Wahai Aba Dzar! Barangsiapa yang dapat menangis, maka hendaklah ia menangis. Dan barangsiapa yang tidak mampu melakukannya, maka hendaknya ia menyedihkan hatinya dan berlaku seperti orang yang sedang menangis; karena hati yang keras itu jauh dari Allah, namun masih banyak orang yang tidak menyadarinya.”



Tangisan merupakan suatu reaksi ungkapan atau luapan isi hati dan sebagai pesan bagi dunia luar atau sekitar. Seorang penyair Persia, Muhtasyame kasyani, berkata, “Janganlah engkau memandang hina airmataku, karena ia merupakan sari darah hatiku.”

Tangisan dan setiap tetesnya memiliki sebab, makna dan tujuan yang berbeda-beda, sehingga memiliki dampak dan kesan yang berbeda-beda pula pada diri pelaku maupun dunia sekitarnya. Demikian pula bila ditinjau dari sisi hukum maka tangisan merupakan suatu perbuatan yang mubah (boleh dilakukan ataupun ditinggalkan dan tiada pahala maupun dosa didalamnya), namun, situasi dan kondisi serta sebab dan tujuan yang berbeda-beda menjadikan tangisan dapat menjadi sesuatu yang diharamkan, makruh, sunnah maupun wajib (dalam peng artian sangat dianjurkan atau sunnah muakkad). Sebagai contoh:

Mubah, seperti tetasan airmata yang mengalir tanpa memiliki sebab dan tujuan yang bersifat ukhrawi dan tidak mengandung sebuah pelanggaran atau maksiat. Seperti halnya ketika mengupas bawang atau ketika menahan rasa sakit.

Haram, seperti tetesan air mata yang sengaja dialirkan untuk sesuatu yang bertentangan dengan asas keimanan dan akhlakulkarimah dan atau untuk memuluskan sesuatu yang diharamkan. Seperti halnya air mata buaya para saudara-saudara Nabi Yusuf dihadapan Ayah mereka, Nabi Ya’qub, sesaat setelah membuang Nabi Yusuf, atau ketika menangis untuk memproter dan merasa tidak rela dengan ketetapan Allah. Dikisahkan, ketika Ibrahim putra Rasulullah saaw wafat diusia 18 bulan atau 22 bulan, Beliau memangkunya seraya menagisi kepergiannya. Lalu seseorang menprotesnya dengan berkata, “Wahai Rasulillah! Engkau melarang kami menangis, tetapi sekarang aku menyaksikanmu menangis?” Beliau menjawab, “Ini bukan suatu tangisan (yang terjadi karena tidak sabar atau tidak menerima dengan ketentuan Allah), ini merupakan tangisan kasih sayang, dan barangsiapa yang tidak menyayangi maka ia tak akan disayangi.”

Makruh, seperti tetesan airmata yang mengalir untuk sesuatu yang tidak dikenal atau sesuatu yang tidak diketahui kelayakannya untuk ditangisi dan atau tangisan yang bisa merusak sesuatu yang telah pasti hukumnya. Seperti halnya ketika menangisi sesuatu yang bersifat duniawi disaat shalat, karena bila tangisannya mengeluarkan suara maka batallah shalatnya; atau seperti meneteskan airmata untuk jenazah yang tidak dikenal, apakah orang baik atau zalim.

Sunnah, seperti tetesan airmata yang sengaja dialirkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam doa, renungan maupun munajah, ataupun untuk menampakkan penyesalan atas dosa. Dan tentunya menangisi sesuatu yang diperintahkan maupun yang pernah ditangisi oleh para manusia suci alaihimussalam. “Para pecinta kami (para manusia suci) adalah bersukacita disaat kami bersukacita dan berduka disaat kami berduka.” (alhadis dari Imam Hasan Al’askari as)

Dan sunnah muakkad
, seperti tetesan airmata yang memang sengaja harus dialirkan untuk sesuatu yang besar, bernilai dan memiliki keafdhilahan yang tinggi disisi Allah swt. Seperti halnya ketika tangisan itu merupakan senjata atau media untuk berdakwah, seperti apa yang telah dilakukan oleh Imam Ali Zainal Abidin as dan sayidah Zainab putri Fatimah as guna membangkitkan semangat keislaman dan perjuangan melawan para penindas.

Sebelum meneruskan tulisan ini,selayaknya kita camkan sejelas mungkin bahwa tulisan ini tidak mengajak kita untuk menjalani hari-hari dengan airmata dan kesedihan, tetapi untuk menunjukkan besarnya peran airmata dalam menciptakan kepribadian suci pada jiwa seseorang. Prof. Jawadi Amuli berkata, “Dalam peperangan dengan musuh batin dimedan jihad akbar, senjata manusia adalah tangisan dan rintihan bukan tombak maupun pedang.” Seorang ahli hikmah, Faidh Kasyani berujar, “Bila engkau melihat cahaya di dahiku...Ketahuilah bahwa ia berasal dari cinta yang membara. Jika engkau menemukan dadaku bening dan bersih… Ketehuilah bahwa airmata telah mencucinya.”

Berikut ini beberapa kedudukan tangisan atau airmata dalam nash.

a. Sebagai lambang penyesalan akan dosa dan penyelamat dari murka Allah swt.
Allah swt berfirman, “Maka hendaklah mereka sedikit tertawa dan banyaklah menangis, sebagai ganti atas apa yang selalu mereka kerjakan.” (Qs. Attaubah, 82)

Ayat ini turun sebagai sindiran atas apa yang telah dilakukan oleh mereka yang meninggalkan kewajiban agama secara sadar, sengaja atau meremehkan dengan menciptakan alasan yang mengada-ada, dan mengajak orang lain untuk mengikutinya, bahkan merekapun terlihat menikmati, bangga maupun mengumbar tawa merendahkan kewajiban agama. Dimana selayaknya mereka menangis menyesali tindakannya, karena siksa yang teramat pedih sedang menanti mereka.

Allah swt berfirman, “Telah dekat terjadinya hari kiamat. Tiada yang akan menyatakan terjadinya hari itu selain Allah. Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?” (Qs. Annajm, 57-60)

Rasulullah saaw bersabda, “Menangis lantaran takut kepada Allah adalah keselamatan dari siksa neraka.” Imam Ali as berkata, “menangis karena takut kepada Allah akan membuat hati menjadi terang dan menghindarkan seseorang dari mengulangi dosanya.” Dan, “Betapa banyak kegembiraan sesaat yang berakibat pada kesedihan abadi.”

b. Sebagai tanda kaum arif sejati karena adanya penyesalan atas hilangnya kesempatan meraih fadhilah (keutamaan) dan pahala besar.

Allah swt berfirman, “Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu membawa mereka (pergi berperang), lalu kamu berkata, ‘Aku tidak memiliki sesuatu untuk bisa membawa kalian’, lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran airmata kesedihan, lantaran mereka tidak memiliki sesuatu yang akan mereka belanjakan (sebagai bekal kemedan perang).” (Qs. Attaubah, 92) Merekapun menangis lantaran tak dapat meraih keutamaan yang besar dengan pergi berjihad bersama Rasulullah saaw.

c. Sebagai tanda mengenal hakikat kebenaran.
Allah swt berfirman, “Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan airmata disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui.” (Qs. Almaidah, 83)
Rasulullah saaw bersabda, “Wahai Aba Dzar! Barangsiapa diberi ilmu, sedang ilmu itu tidak dapat membuatnya menangis, maka dapat dipastikan bahwa ilmunya adalah ilmu yang tidak bermanfaat. Karena sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla telah mensifati orang-orang berilmu dalam firman-Nya, ‘…Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila Alqur’an dibacakan kepada mereka, maka mereka merobohkan dirinya sambil bersujud, dan mereka berkata, ‘Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.’ Dan menyungkurkan muka mereka sambil menangis dan hal ini (bacaan Alqur’an, senantiasa) menambah kehusyuan mereka.” (Qs. Alisra’, 107-109).

d. Sebagai karakteristik para hamba pilihan Allah swt.
Allah swt berfirman, “…Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Mahapemurah kepada mereka (para nabi, para manusia pilihan dan yang mendapat hidayah), maka mereka menyungkur sambil bersujud dan menangis.” (Qs. Maryam, 58)
Catatan sejarah banyak mengisahkan dimana Rasulullah saaw selalu menangis tersedu-sedu setiap kali Jibril turun membawakan firman Allah yang (khususnya) berkenaan dengan penciptaan dan siksaan, yang juga diikuti oleh Ahlulbait dan para sahabat setianya.
e. Memiliki kedudukan khusus disisi Allah swt, keutamaan dan manfaat yang sedikit manusia menyadarinya.

Ketika dikatakan kepada Nabi Ya’qub as, “Demi Allah! Engkau selalu mengingat Yusuf, hingga engkau menjadikan dirimu sakit dan binasah.” Beliau menjawab, “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahanku dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tidak mengetahuinya.” (Qs. Yusuf, 85-86)

Segala kesusahan dan kesedihan Nabi Ya’qub as atas Yusuf as, Beliau adukan (curhat-kan) kepada Allah swt melalui bahasa tetesan-tetesan airmata. Nabi Ya’qub selalu menangis setiap kali mengenang Yusuf, yang telah diketahuinya kelak akan menjadi seorang utusan Allah. Sebuah tangisan perpisahan yang terasa sangat berat segaligus merupakan tangisan kerinduan atas perjumpaan dengan kekasih Allah serta tangisan penyesalan karena hilangnya keutamaan untuk menyertai perjalanan berliku penuh ujian dan derita sang kekasih Allah, Yusuf as. Beliaupun tiada henti menangis karena mengetahui adanya keutamaan yang besar yang telah diberitakan oleh Allah kepadanya yang tidak diketahui oleh selainya.

Sedemikian seringnya menangis hingga matanya menjadi buta, bahkan dalam riwayat disebutkan, Allah menyembuhkan kebutaannya, namun Nabi Ya’qub tetap menangis hingga kembali buta, dan untuk kedua kalinya Allah menyembuhkan kebutaannya, namun sekali lagi Nabi Ya’qub menjadi buta karena tetap menangisi perpisahannya dengan Yusuf, hingga akhirnya Beliau mendapatkan gamis Yusuf yang telah menjadi penguasa Mesir saat itu, menciuminya dan menguspkannya ke kedua matanya hingga Allah swt mengembalikan penglihatannya (Qs. Yusuf, 93). Namun, yang sangat perlu di ingat disini adalah, Allah swt tetap meridhainya, karena tak ada satupun ayat yang menyalahkan (jenis) tangisannya dan atau yang melarang ummat untuk mengikutinya, bahkan Allah swt melihatnya sebagai sesuatu yang indah nan agung sehingga layak dicatat dengan tinta keagungan Alqur’an agar dikenang sepanjang zaman, “Kami (Allah) menceritakan kepadamu (Muhammad) sebaik-baiknya kisah.” Dan “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang berakal.” (Qs. Yusuf, 3 & 111)

Kedudukan tangisan dalam nash masih banyak lagi,namun kita cukupkan sampai disini, dan untuk mempermudah kita memahami bentuk tangisan surgawi, maka berikut ini :

Kisah teladan ini akan kita ambil dari riwayat Imam Ja’far Asshadiq as, yang mengatakan bahwa, Albakkaa’un (orang-orang yang dikenal paling sering menangis sepanjang sejarah) ada lima orang, yaitu: Adam as, Ya’kub as, Yusuf as, Fatimah binti Muhammad as, dan Ali bin Husain as.

Adam, sering menangis karena terusir dari surga, sebegitu lamanya beliau menangis (memohon ampun dan menyesali keteledorannya) hingga dikedua pipinya tercipta guratan-guratan yang menyerupai sungai-sungai kecil.

Ya’kub, sering menangis karena berpisah dengan Yusuf, sebegitu lamanya Beliau menangis hingga kedua matanya memutih dan tak dapat melihat lagi (buta). Sesungguhnya Allah swt membenci sesuatu yang melampaui batas, namun, Apa yang dilakukan Nabi Ya’qub bukanlah sesuatu yang berlebihan, karena Allah justru bangga dan mensifatinya sebagia manusia penuh kasih sayang dalam kesabaran, “Dan Ya’qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata, ‘Aduhai dukacitaku terhadap Yusuf.’ Dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan, dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).” (Qs. Yusuf, 84) Allah mensifatinya dengan ucapan “Fahuwa kadzim” yaitu lebih mulia dari “shabru”
Yusuf, juga sering menangis karena perpisahan dengan kekasih Allah, Nabi Ya’kub as. Tidak henti-hentinya Beliau menangis hingga para penghuni penjara terganggu oleh suara tangisannya. Mereka berkata kepada Yusuf, “Pilihlah waktu untuk tangisanmu!? Jika engkau menangis dimalam hari, maka berhentilah disiang hari, atau jika engkau menangis disiang hari, maka berhentilah dimalam hari.” Yusuf-pun menyetujui usulan mereka.

Fatimah as, sering menangis karena berpisah dengan Rasulullah saaw. Tidak henti-hentinya Beliau menangis merindukan perjumpaan dengan ayahnya sekaligus meratapi derita rumah kenabian. Anas bin Malik mengisahkan, “Ketika kami selesai memakamkan Nabi, aku datang ketempat Fatimah, lalu ia mengatakan, ‘Bagaimana kalian sanggup menimbun tanah di wajah Rasulullah!’ Kemudian ia menangis.” Imam Ali pun mengisahkan, “Aku mencuci gamis Nabi saaw, lalu Fatimah mengatakan, ‘Tunjukkan kepadaku gamis itu.’ Dan ketika ia menciuminya, ia pingsan. Sedari itu, aku menyembunyikan gamis tersebut.

Diriwayatkan pula, bahwa setelah Nabi saaw wafat, Bilal menolak untuk melakukan azan. Ia berkata, “Aku tidak mau melakukan azan untuk siapapun setelah Rasulullah tiada.” (namun) Suatu hari Fatimah berkata, “Aku ingin sekali mendengar suara muazzin ayahku, Bilal.” Kabar itu sampai ketelinga Bilal. Maka Bilal pun melakukan azan. Ketika Bilal menyuarakan “Allahu Akbar…Allahu Akbar”, Fatimah teringat kepada ayahnya dan hari-harinya ketika Beliau masih kecil, sehingga ia tak kuasa menahan tangis. Dan ketika Bilal sampai pada kalimat, “Asyhaduanna Muhammadar Rasulullah”, Fatimah merintih, lalu jatuh dan pingsan. Orang-orang pun berkata kepada Bilal, “Hentikan, wahai Bilal! Putri Rasulullah telah wafat.” Mereka menyangka Fatimah telah meningal. Bilal pun menghentikan azannya dan tidak menyelesaikannya. Kemudian Fatimah siuman dan meminta Bilal menyelesaikan azanya. Namun Bilal tidak melakukannya. Bilal berkata, “Wahai pemimpin para wanita! Aku takut sesuatu akan menimpamu, jika engkau mendengar suara azanku.” Fatimah pun memakluminya.

Demikianlah, Fatimah selalu menangis kapanpun dan dimanapun; disiang maupun malam hari. Rintihan dan tangisannya tak pernah berhenti hingga membuat gelisah para penduduk Madinah. Merekapun berkumpul dan menemui Ali seraya memohon, “Wahai Ali! Sesungguhnya Fatimah telah menangis disiang dan malam, sehingga tidak seorangpun diantara kami yang dapat tidur dengan tenang diwaktu malam maupun dapat melakukan pekerjaan dan mencari nafkah di waktu siang (karena setiap mendengar rintihannya mereka ikut bersedih dan meneteskan airmata, teringat kedudukannya disisi Rasulullah saaw). Kami mohon engkau memintanya untuk menangis di malam hari saja atau di siang hari saja.”

Ali pergi dan masuk menjumpai Fatimah, “Wahai Putri Rasulillah! Sesungguhnya para pemuka Madinah memintamu untuk menangis di waktu malam atau siang hari saja.” Maka Azzahra menjawab, “Wahai Ali! Alangkah singkatnya aku tinggal ditengah-tengah mereka dan tidak lama lagi aku pun akan menghilang dari hadapan mereka.”

Ali kemudian membangun sebuah rumah (semacam gubuk keci) untuk Fatimah di pemakaman Baqi’ yang terletak jauh dari tengah kota Madinah, dan diberi nama Baitul Khuzun (rumah duka). Jika waktu pagi dan sore datang, Fatimah membawa Hasan dan Husain ke pemakaman Baqi’ dengan menangis dan ia terus menangis diantara kuburan-kuburan disana.

Suatu ketika setelah wafat Rasulullah saaw, Mahmud bin Labid melewati pekuburan syuhada’ Uhud, dan ia melihat Fatimah sedang menangis dimakan Hamzah ra. Dia menunggu dengan sabar hingga Fatimah nampak tenang, lalu dia memberi salam dan berkata kepadanya, “Wahai Putri Rasulillah! Tangisanmu talah memutuskan tali jantungku!.” Fatimah berkata, “Bagaimana aku tidak akan menangis. Aku telah kehilangan ayahku, seorang ayah terbaik dan Nabi yang paling utama. Alangkah rindunya aku kepada Rasulullah.”

Diatas pusara ayahnya, Fatimah dengan penuh kesedihan meneteskan airmata seraya merintih, “Katakan pada Manusia yang tinggal ditanah ini...Andai kau dengar seru perih hatiku…Ragam petaka telah menimpaku…Kalau saja ia menimpa siang…Ia akan berubah menjadi malam…Kujadikan duka sebagai pelipur laraku…Dan tangis untukmu sebagai perhiasanku...Patutkah bagi orang yang pernah mencium pusara Ahmad…Takkan lagi mereguk aroma semerbak wangi…?”

Dan, Ali bin Husain, sering menangis, karena selama 35 tahun sisa hidupnya, tidak seharipun beliau lewatkan untuk meneteskan airmata mengenang tragedi pembantaian dan penganiayaan terhadap ayahnya, Alhusain, diKarbala beserta keluarga dan sahabatnya. Tiada dihidangkan kepadanya makanan atau minuman, terkecuali Beliau menangis, hingga pelayannya berkata, “Kupersembahkan jiwaku untukmu wahai putra Rasulillah! Aku khawatir engkau akan binasah lantaran tangisanmu yang tiada henti!?” Beliau menjawab, “Aku keluhkan kesedihan dan dukaku hanya kepada Allah. Aku mengetahui banyak hal dari Allah yang kamu tidak tahu. Setiap saat aku mengingat pembantaian Bani Fatimah, maka secara spontan airmataku mengalir tak tertahankan.”

Selama 35 tahun sisa hidup Beliau (setelah tragedi Karbala), Beliau menjalani hidup di Madinah beserta keluarga dan pecintanya dibawah pengawasan dan control langsung para pemimpin zalim yang selalu memantau dan mengintai setiap gerak-gerik mereka serta mengekang, mengintimidasi, mengancam dan menteror mereka, sehingga Beliau tidak leluasa dalam berdakwah dengan lisan dan hanya berdakwah secara sembunyi-sembunyi terhadap beberapa orang tertentu saja. Maka, Imam Ali Zainal Abidin menjadikan tangisan sebagai senjata, media dan strategi dakwah Beliau dengan memanfaatkan setiap kesempatan (yang Beliau dapatkan dihadapan khalayak umum) untuk meneteskan airmata dalam mengenang pengorbanan Imam Husain as, guna membangkitkan semangat keislaman yang memiliki keimanan dan prinsip yang kokoh dalam menolak menjalani kehidupan dalam kehinaan, menebar kasih sayang, mengayomi kaum lemah dan membenci hingga bangkit melawan kaun zalim.

Dalam sejarah juga tercatat bahwa semenjak kelahiran Alhusain, sering kali Rasulullah saaw (sayyidulbakkaa’un) Nampak bersedih dan sesenggukan menangisi penderitan yang akan menimpa Alhusain, yang juga di ikuti oleh Fatimah, Ali dan para sahabat, walaupun peristiwa itu belum terjadi. Rasulullah saaw bersabda, “Wahai Fatimah! Semua mata akan menangis di hari kiamat, kecuali mata yang pernah menangis atas musibah yang menimpa Alhusain. Sungguh mata itu akan tersenyum gembira di hari kiamat dan mendapatkan nikmat surga.”

Dan sebelum itu, Rasulullah saaw juga sering terlihat menangisi kepergian Abu Thalib dan Khadijah (hingga dikenal dengan sebutan Aam Khuzun atau tahun kesedihan), juga terhadap Hamzah, ja’far attayyar dan lainya. Rasulullah saaw bersada, “Sesungguhnya tangisan adalah rahmat Allah yang Ia letakkan dihati hamba-Nya.”

Niat dan tujuan tangisan yang bermanfaat
Secara keseluruhan, tangisan para manusia-manusia suci ini terbagi menjadi dua jenis tangisan :
yang pertama, yaitu tangisan dihadapan Allah swt.

Rasulullah saaw bersabda, “Tiada tetesan yang lebih dicintai oleh Allah, melebihi dua tetesan; tetesan darah dijalan Allah dan tetesan airmata dikegelapan malam karena takut kepada-Nya.”
Imam Ali bin Abi Thalib berkata, “Menangis karena takut kepada Allah akan membuat hati menjadi tenang dan menghindarkan seseorang dari mengulang dosa.”

Imam Husain berkata, “Menangis lantaran takut kepada Allah adalah keselamatan dari siksa neraka.”
Dalam tangisannya Imam Ali Zainal Abidin pernah berkata, “Mendapatkan rahmat seseorang yang airmatanya menetes karena takut kepada Allah.”

Imam Ja’far berkata, “Aku menemukan cahaya dalam tangisan dan sujud.” Dan, “Posisi yang paling dekat antara seorang hamba dengan Tuhannya, adalah pada saat ia sujud dalam keadaan menangis.”
Dan yang kedua, yaitu tangisan dihadapan para ahli surga.

Rasulullah saaw bersabda, “Orang yang meninggal tidak akan mempunyai kenangan di dunia (yang bisa diambil sebagai suritauladan), jika tidak ada orang yang mengekalkan penghormatan kepadanya.” Salah satu penghormatan terbaik yang di ajarkan alqur’an adalah menangisi kepergiannya, “Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka tinggalkan, dan kebun-kebun serta tempat yang indah, dan (juga) kesenangan-kesenangan yang mereka nikmati. Demikianlah (perlakuan mereka), sehingga Kami wariskan semua itu kepada kaum yang lain. Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka tidak diberi tangguh.” (Qs. Addukhan, 25-29) Karena mereka merupakan orang-orang yang tidak bersyukur, tidak berguna bagi orang lain dan melakukan berbagai kerendahan nilai terhadap masyarakat, sehingga para penduduk langit dan bumi tidak memperdulikannya apalagi menangisinya, dan sebaliknya, terhadap orang-orang baik nan mulia dan berguna bagi masyarakat maka mereka menangisi keberpisahan diantara mereka yang sesaat maupun selamanya (wafat).

Rasulullah saaw terlihat sangat marah sekali ketika mengetahui tiada seorangpun yang menangisi kesyahidan pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib, di medan Uhud, terlebih lagi Beliau mengetahui para syuhada’ dari Anshar ditangisi oleh handaitolannya masing-masing. Dengan penuh kesedihan Beliau bersabda, “Akan tetapi pamanku (Hamzah) tiada yang menangisinya.” Mendengar itu, orang-orang Anshar segera mengutus tiap seorang dari kalangan mereka untuk berbelasungkawa kerumah Hamzah, kemudian Rasulullah saaw besabda, “Jika ada orang yang meninggal dunia seperti Hamzah hendaklah ada yang menangisinya.” “Keringnya airmata (terhadap suatu musibah) adalah tanda dari kerasnya hati. Itulah penyakit terparah yang menimpa anak cucu adam.”

Secara keseluruhan tangisan manusia-manusia surgawi ini merupakan jenis tangisan yang memiliki makna, bertujuan, penuh berkah maupun rahmat dari Allah dan sebagai suritauladan bagi ummat, terlebih lagi Rasulullah sering terlihat melakukannya bahkan memerintahkannya.

Allah swt berfirman, “Dan tiadalah yang diucapkanya itu berdasarkan hawa nafsunya melainkan hanya berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (Qs. Annajm, 3-4) Lalu Allah mensifatinya, “Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi-pekerti yang agung.” (Qs. Alqalam, 4) Dan, “Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat uswatun hasanan (suritauladan yang baik) bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah… “ (Qs. Alahzab, 21) Kemudian Allah perintahkan Manusia mengikutinya, “Dan apa-apa yang datang dari Rasul maka ambillah, dan apa-apa yang dilarangnya maka juhilah.” Maka “Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Qs. Alimran, 31)

Imam Ja’far as berkata, “Jika tangismu tak kunjung tiba, maka berpura-puralah menangis! (berlakulah seperti orang yang sedang menangis atau berusahalah untuk mewujudkan suasana yang dapat membuatmu meneteskan airmata). Dan apabila kemudian engkau berhasil meneteskannya walau hanya sebesar kepala lalat, maka ucapkanlah selamat!” Mengapa? Rasulullah saaw bersabda, “Wahai Aba Dzar! Sesungguhnya Tuhanku telah mengabarkan kepadaku, Ia berkata, ‘Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, para penyembah-Ku belum memahami arti tangisan dan airmata (untuk meraih keridhaan-Ku), padahal sungguh Aku akan dirikan bagi mereka ditingkat surga yang paling tinggi (arrafiqul a’la) sebuah istana, yang hanya akan dihuni oleh mereka (selainnya tidak di izinkan masuk).’”

Manfaat manangis dari sisi ilmu kedokteran
Dalam berbagai penelitian ilmiah kedokteran perihan airmata menyebutkan bahwa tangisan dan tetesan memiliki pengaruh maupun manfaat yang besar dan bermacam-macam bagi kesehatan manusia dan kemajuan permedisan. Diantaranya adalah :

a. Dapat menghindarkan manusia dari penyakit psikis dan setidaknya dapat mengurangi tekanan mental dan jiwa. Bahkan dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa wanita memiliki usia yang lebih panjang dibandingkan pria, dikarenakan wanita lebih mudah meluapkan tekanan emosinya, beban pikirannya, stress dan tekanan mentalnya dengan menangis, sehingga mereka lebih nyaman dan tentram, dan sebagai hasilnya kesehatan fisik, psiki, jiwa, dan hati mereka lebih terpelihara. Berbeda dengan pria yang lebih memilih memendamnya dalam hati.
b. Orang yang sering menangis lebih terjaga dari berbagai keluhan kesehatan yang diakibatkan stress, seperti penyakit lambung atau maag, insomnia atau susah tidur dll.
c. Menjaga kesehatan mata, karena setiap keluarnya airmata maka akan keluar juga suatu enzim yang berfungsi membersihkan mata dan menjaganya tetap steril dari kuman-kuman yang dapat merusak kornea mata.
d. Tetesan airmata juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi berbagai penyakit dalam.

Akhiranya…semoga Allah swt memberi kita karunia dan taufik untuk dapat mengambil manfaat dari suritauladan mereka alaihimussalam…

Sebuah artikel kiriman dari Akhu Ridha di Slawi

Melukai Badan: antara Sunnah dan Bidah?

Urgensi Azadari
Kebangkitan Imam Husein as memiliki pesan bagi seluruh bangsa dan manusia, kapan dan di mana saja. Pesan yang akan langgeng sepanjang masa. Namun dalam kondisi ketika kekuatan-kekuatan zalim dan imperialis berusaha mengaurangi perang Asyura dan mengikis pondasinya, faktor paling penting yang dapat melindungi semangat Asyura bagi generasi yang akan datang adalah upacara Azadari (ritual berkabung) Imam Husein as. Mengadakan acara demi memperingati Imam Husein as, kapan saja, khususnya di sepuluh hari pertama bulan Muharram dan hari Asyura dapat menjadi metode untuk menghidupkan garis para Imam dan menjelaskan ketertindasan mereka.
Di sini, penekanan berulang-ulang Nabi Muhammad saw dan para Imam as telah menggariskan agar penyelenggaraan acara ini harus selaras dengan tujuan mulia. Diriwayatkan dalam buku Bihar Al-Anwar dari Imam Shadiq as, “Allah akan merahmati Syiah kami. Demi Allah orang-orang Syiah adalah mukmin. Mereka bersumpah demi Allah dengan kesedihan berkepanjangan untuk merasakan musibah yang kami temui.” Kepada Fudhail Imam Shadiq as berkata, “Apakah kalian menyelenggarakan majelis ‘Aza (ritual berkabung) dan menceritakan apa yang terjadi terhadap Ahlul Bait?” Fudhail menjawab, “Iya.” Imam kemudian melanjutkan, “Saya menyukai majelis yang seperti ini. Hidupkanlah urusan kami. Barang siapa yang menghidupkan urusan kami akan mendapat rahmat Allah. Wahai Fudhail! Siapa saja yang mengingat kami atau berada di dekat seseorang yang membuatnya mengingat kami dan menitikkan air mata walau seukuran sayap lalatpun, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya, sekalipun sebanyak air di lautan.”

Masih dari buku yang sama, sekaitan dengan hal ini Imam Ridha as berkata, “Siapa yang mengingatkan tentang musibah yang kami derita dan menangis atas kezaliman yang menimpat kami, niscaya di Hari Kiamat ia akan bersama kami dan sederajat dengan kami. Sementara siapa yang menjelaskan tentang musibah kami, ia sendiri menangis dan membuat orang lain menangis dengan penjelasannya, maka di hari (Kiamat) ketika semua mata manusia menangis, ia tidak menangis. Barang siapa yang duduk di sebuah majelis yang menghidupkan urusan kami, niscaya di hari (Kiamat) ketika semua hati mati, hatinya tidak akan mati.

Namun ada poin penting yang dapat diambil dari segala riwayat yang ada bahwa para Imam merekomendasikan penyelenggaraan acara Azadari demi melindungi peristiwa Karbala dan menyampaikan budaya Karbala kepada generasi yang akan datang. Sayangnya, dalam perjalanan sejarah dan perluasan mazhab Syiah acara ini telah bercampur dengan adat dan tradisi etnis dan bangsa lain. Kenyataan ini tentu akan menjadi kendala terbesar demi memahami dengan tepat pesan-pesan Asyura.

Apa itu Qameh dan Siapa Pelaku Qameh
Qameh sejatinya nama sebua senjata yang mirip pedang, namun bentuknya lebih pendek dan lebih lebar. Qameh bentuknya lurus. Sementara orang yang memakai senjata ini di hari Asyura untuk melukai kepalanya atau orang lain disebut qameh zan dan perilaku ini disebut qameh zani. Ini istilah yang dipakai orang-orang Iran, sementara dalam bahasa Arab perilaku ini dikenal dengan nama At-Tathbir.

Mereka yang akan melakukan qameh zani di pagi hari Asyura, pada malam harinya mereka telah menajamkan qameh-nya. Dalam acara Azadari mereka mengikuti acara khusus bernama “masyq qameh” (latihan qameh). Setelah menunaikan shalat subuh hari Asyura mereka keluar dengan tidak memakai penutup kepala, tidak memakai alas kaki dan memakai kain kafan sambil memegang qameh. Sisi atau lebar qameh dipukul-pukulkan ke kepala dan dengan membaca kidung duka dan mengatakan “Haidar” berulang kali mereka siap untuk melakukan qameh zani. Guru qameh zan mulai mengayunkan qameh dua hingga tiga kali ke kepala orang yang ingin mengikuti acara ini, hingga darah mengucur dari kepalanya. Setelah itu sisi qameh diusapkan di atas luka dan mengatakan “Husein” berulang-ulang. Sementara siapa saja yang mampu melakukan qameh zani melakukan pada dirinya sendiri dan melukai kepalanya sesuai yang diinginkan. Terkadang mereka melukai kepalanya berlebihan sampai jatuh pingsaan.

Qameh Zani Dalam Sejarah
Dalam sejarah hampir dapat dipastikan qameh zani di Iran belum ada sebelum Dinasti Safawi (1501-1732), sementara masih ada keraguan apakah perilaku menyiksa diri dalam acara Asyura mulai di masa dinasti ini atau muncul di masa Dinasti Qajar (1792-1925).

Sebagian peneliti percaya qameh zani muncul di zaman Safawi, bahkan mereka menyebut Dinasti Safawi sebagai penggagasnya. Pada waktu itu di hari Asyura para penguasa Dinasti Safawi memerintahkan resimen tentara Qazalbash-nya yang dikenal dengan nama Fedayeen Qazalbash secara teratur melakukan Azadari. Nasrollah Falsafi dalam buku “Tarikh Shah Abbas Kabir” (Sejarah Syah Abbas Kabir) yang merupakan salah buku sejarah paling detil menjelaskan Fedayeen Qazalbash seperti demikian, “Fedayeen Qazalbash yang senantiasa berpenampilan gundul sebagai simbol loyalitas biasanya di hari Asyura mereka keluar sambil membawa pedang. Mereka berpikir apa yang dilakukan ini sebagai bentuk solidaritas dengan apa yang dilakukan para sahabat Imam Husein as. Mereka mengatakan, “Pada hari ini Imam Husein as dan para sahabatnya dipanah. Oleh karenanya kita juga harus menciptakan kondisi yang sama terhadap diri kita. Yakni kita tunjukkan diri kita sebagai orang yang siap berkorban demi Imam Husein as. Kita siap melukai kepala kita. Ini adalah awal mula qameh zani.”

Namun Yousuf Qaravi dalam buku “Tarikh Negari Asyura va Tahrifat-e An” (Penulisan Sejarah Asyura dan Penyimpangannya) menulis, “Ada kemungkinan bahwa perilaku ini pertama kali dilakukan oleh para sufi dan darwisy, sebagaimana ditulis oleh Pietro Della Valle, seorang penjelajah di masa Syah Abbas Pertama. Pietro menulis, “Mayoritas para sufi dan darwisy di tempat-tempat yang banyak dilalui orang mengubur dirinya hingga seluruh badan, bahkan sebagian hingga kepala dalam tanah liat yang telah dibakar, sehingga orang mengira mereka memang benar-benar telah dikuburkan. Mereka bertahan dalam kondisi yang demikian dari terbit hingga terbenamnya matahari. Sebagian lain berkumpul di bundaran kota atau gang-gang bahkan di depan rumah masyarakat dengan tidak memakai alas kaki dan pakaian kecuali kain hitam untuk menutupi aurat mereka. Mereka melumuri seluruh badan hingga kaki dengan sejenis bahan yang menghitamkan namun mengkilat. Mereka diikuti sejumlah orang yang berpenampilan sama tapi seluruh badannya diwarnai merah. Warna merah ini sebagai simbol darah. Sebuah perbuatan buruk yang hari itu dilakukan terhadap Imam Husein as. Semua ini untuk menunjukkan rasa sedih mereka atas musibah yang menimpa Imam Husein as.”

Sejumlah periset lainnya punya keyakinan, qameh zani dilakukan di masa Dinasti Qajar. Sekaitan dengan hal ini, Rasoul Jafarian mengatakan, “Banyak yang menanyakan sejak kapan munculnya qameh zani dan sineh zani (memukul dada)? Untuk menjawab masalah ini ada dua hingga tiga kemungkinan. Namun teori paling serius terkait hal ini menyebut India sebagai sumber aslinya. Karena Syiah di masa Dinasti Safawi telah menyebar hingga ke India dan seiring dengan perluasan pelabuhan Bushehr dan Syiraz perilaku ini juga menyebar di sana. Hal yang sama terjadi juga di Lebanon. Menurut seorang ulama, sejumlah orang Iran tiba di kota Nabatieh. Mereka punya cara dan gaya tersendiri dalam memperingati hari Asyura yang seharusnya fenomena ini dicegah. Ibarat ini terkait akhir masa Dinasti Qajar, “Sumber Azadari adalah para Imam sendiri, namun bentuk Azadari orang-orang Arab mengambil bentuk lain.”

Bentuk Azadari orang-orang Iran muncul lama setelah itu. Sekaitan dengan sejarah qameh zani dan sineh zani dapat dikata tidak melebihi akhir masa Dinasti Qajar. Salah satu alasannya, kita memiliki fatwa-fatwa ulama terkait masalah ini yang keseluruhannya berasal dari akhir-akhir kekuasaan Qajar dan tidak ada sama sekali permintaan fatwa yang lebih lama dari ini. Sistem sineh zani, zanjir zani (memukul punggung dengan rantai) dan qameh zani tidak ada dalam teks-teks Dinasti Safawi. Azadari biasanya dilakukan di rumah-rumah.

Bila mencermati tiga pandangan di atas, tampaknya kita dapat menyimpulkan bahwa akar Azadari sebenarnya telah ada sejak zaman Dinasti Safawi. Tapi tidak dilakukan seperti yang ada saat ini dan dilakukan secara individual, terbatas dan tidak ada bentuk baku. Sementara Azadari dalam bentuk yang ada saat ini ditambah perilaku qameh zani kebanyakan dilakukan di kota-kota oleh para sufi dan darwisy.

Sebuah laporan dari Auliya Chalapi di masa Syah Safi tentang Azadari masyarakat Tabriz yang saat itu menjadi pusat perkumpulan para sufi dan darwisy menguatkan kesimpulan di atas. Dalam buku Iranian va Azadari Ashoura (rakyat Iran dan Azadari Asyura) disebutkan, “Ketika pembaca kisah Asyura sampai pada bagian pembantaian Imam Husein as yang dilakukan oleh Syimr bin Al-Jausyan, pada saat itu masyarakat mengeluarkan gambar jasad anak-anak Imam yang terbunuh dari kemah para syahid. Mereka yang menyaksikan pemandangan memilukan ini lantas berteriak “Wahai Husein” dan semua yang hadir menangis. Setelah itu ratusan orang yang hadir mengeluarkan pedang dan qameh lalu melukai kepala, wajah dan badan mereka.

Sekalipun demikian selama periode Safawi dan Zand, Azadari resmi dan tradisional orang-orang Syiah senantiasa dilakukan dengan membaca kisah musibah dan menyelenggarakan acara ratapan berkabung. Hal ini membuat para turis asing di masa Safawi tidak menulis tentang qameh zani atau zanjir zani. Mereka hanya menyinggung sejumlah perilaku yang dapat menjadi awal dari perbuatan ini. Namun gaya Azadari di masa Dinasti Qajar lebih teratur dan mempengaruhi masyarakat luas. Pierre Loti yang berada di Iran di masa Mozaffareddin Shah menulis tentang qameh zani. Loti menyebutkan, “Para pria melukai kepala mereka. Keringat dan darah mereka mengalir membasahi pundak mereka.”

Argumentasi Qameh Zani
Mereka yang mengklaim diperbolehkannya qameh zani punya beberapa alasan dan berikut ini argumentasi mereka:

1. Mitos Sayyidah Zainab benturkan kepala ke kayu sekedup hingga berdarah
Mereka yang melakukan qameh zani menyandarkan perilakunya dengan sebuah hadis yang tidak dapat dipercaya. Mereka mengatakan, “Bila qameh zani dan melukai kepala di hari Asyura tidak diperbolehkan, lalu mengapa Sayyidah Zainab as membenturkan kepalanya ke kayu sekedup di atas onta hingga berdarah.”

Klaim ini berdasarkan dua argumentasi: Pertama, Sayyidah Zainab as dididik dalam lingkungan wahyu dan tidak akan melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah. Dengan demikian, segala perbuatan yang dilakukannya dapat disimpulkan sebagai suatu kebolehan. Kedua, Imam Ali Zainal Abidin as senantiasa bersama Sayyidah Zainab dan menyaksikan apa yang dilakukan bibinya. Bila perbuatan tersebut tidak boleh, niscaya Imam akan melarangnya. Karena tidak dilarang, maka kesimpulannya adalah boleh dengan dasar taqrir.

Namun patut diketahui bahwa seorang bernama Muslim Al-Jasshash menukil, “Ketika pintu gerbang utama kota Kufah terbuka terdengar sorak-sorai penduduk dan ia menuju asal suara. Sesampainya di sana ia menyaksikan para tahanan Asyura berada di di dalam sekedup, tenda kecil yang berada di atas onta. Sementara kepala Imam Husein as yang terpisah dari badannya dan diletakkan di ujung tombak. Sayyidah Zainab as yang menyaksikan itu tidak mampu menahan perasaan sedihnya dan membenturkan kepalanya ke kayu sekedup. Sedemikian kuatnya ia membenturkan kepalanya hingga darah mengalir dari bawah jilbabnya. Setelah itu ia membaca beberapa bait puisi.”

Riwayat ini disebutkan dalam buku “Nur Al-‘Ain Fi Masyhad Al-Husein” dan mengenai penulis buku ini masih belum ada kejelasan. Satu-satunya penjelasan menyebutkan buku ini ditulis oleh Ibrahim bin Muhammad Naisyaburi Al-Isfarayini yang bermazhab Syafi’i. Namun mayoritas ulama menolaknya. Sekaitan dengan hal ini, Abbas Al-Qummi, penulis buku Mafatih Al-Jinan menjelaskan, “Sulit menerima Sayyidah Zainab as melukai kepalanya. Karena ia punya julukan wanita berakal Bani Hasyim (‘Aqilah Bani Hasyim) dan memiliki derajat Ridha dan Taslim (rela dan berserah diri).” Abbas Al-Qummi kemudian menyebutkan buku-buku terpercaya yang menulis bahwa pada waktu itu sekedup yang dipakai tidak ada kayunya sehingga Sayyidah Zainab as membenturkan kepalanya ke kayu.

Ayatullah Mirza Muhammad Arbab malah menyebut lima alasan ketidakbenaran riwayat tersebut; riwayat ini tidak disebutkan di buku-buku hadis terpercaya, tidak memiliki sanad, penyebutan tentang keberadaan Fathimah binti Husein yang disebut para sejarawan tidak ikut dalam peristiwa Karbala, disebutkan juga tentang bait-bait syair Sayyidah Zainab yang menyebut Imam Husein as berhati keras dan kontradiksi riwayat ini dengan kutipan sejarah yang menyebut Sayyidah Zainab as pribadi yang pasrah kepada Allah.

2. Solidaritas atas penderitaan Imam Husein as
Mereka yang melakukan aksi melukai diri dalam acara Asyura berargumentasi bahwa apa yang mereka lakukan itu merupakan bagian dari upaya memperingati musibah yang menimpa Imam Husein as, keluarga dan para sahabatnya. Karena melukai diri itu bagian dari upaya memperingati dan peringatan Asyura sendiri merupakan syiar ilahi, maka aksi melukai diri ini terhitung menghidupkan syiar Allah dan bahkan sunnah hukumnya.

Patut diketahui bahwa setiap perilaku memiliki definisi dan batasannya. Bila kita ingin memasukkan sebuah perbuatan dalam syariat Islam, tentunya kita harus merujuk pada Allah mengenai hal itu. Apakah memang Allah sebagai pembuat syariat telah menetapkannya atau tidak. Di sini, peringatan Asyura Imam Husein juga harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan.

Sekaitan dengan hal ini, Imam Khomeini ra. dalam buku Kasyf Al-Asrar mengatakan, “Saya juga harus berbicara khusus mengenai acara dan majelis yang diselenggarakan atas nama Imam Husein as. Kita sebagai orang-orang yang beragama tidak pernah mengatakan bahwa siapa saja baik melakukan perbuatan segala perbuatan. Betapa banyak ulama besar dan para ilmuwan yang menyebut perilaku ini (qameh zani) sebagai perbuatan yang tidak benar, bahkan berusaha mencegah perilaku tersebut.”

Harus dikatakan bahwa dalam masalah qameh zani tidak ada satu riwayat pun atau perbuatan yang mirip dengan itu dikategorikan bagian dari peringatan Asyura. Sebaliknya, kita dapat memahami ketidakbolehan perilaku ini dari sejumlah riwayat. Dalam buku Wasail Al-Syiah bab makruh berteriak akibat duka cita dan meratap Jabir bin Abdillah Al-Anshari mengatakan, “Saya bertanya kepada Imam Muhammad Baqir as. tentang sikap tidak sabar.” Imam kemudian menjawab, “Derajat tertinggi dari ketidaksabaran itu adalah berteriak sambil berkata woi, memukul wajah, dada dan mencabut rambut yang ada di depan kepala. Siapa saja yang menyelenggarakan acara untuk membacakan nyanyian berkabung berarti ia telah kehilangan kesabarannya dan tidak tergolong orang yang sabar.”

Dari hadis tersebut kita dapat mengatakan, dalam pandangan syariat, qameh zani dan perbuatan yang serupa tidak dapat disebut bagian dari acara peringatan Asyura. Karena memukul wajah dengan tangan punya makna yang benar-benar berbeda dengan qameh zani.

3. Menghidupkan mazhab
Para pembela perilaku qameh zani mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan malah memperkokoh agama. Dengan perilaku ini mereka dapat mengajak orang lain untuk memeluk mazhab Syiah. Sayyid Hassan Shirazi malah menyerang mereka yang ingin menghapus syiar ini. Dalam bukunya Al-Sya’air Al-Huseiniyah Sayyid Hassan Shirazi berargumentasi, “Bila ada pembahasan mengenai perjuangan melawan hal-hal yang haram dan melindungi Islam, mengapa tidak berjuang melawan hal-hal haram yang lain? Bila ada pembahasan mengenai perjuangan dengan syiar-syiar semacam ini, mengapa tidak ada penentangan sejak hari pertama? Karena semua ini telah terjadi dan dilakukan bertahun-tahun sebelumnya, bahkan alasan diperbolehkannya qameh zani adalah ini.” Setelah itu Sayyid Hassan Shirazi lalu mengambil kesimpulan bahwa qameh zani itu hukumnya boleh dan tindakan yang mengikui Imam.

Kelemahan argumentasi ini sangat jelas. Karena argumentasi paling penting dalam pengharaman qameh zani kembali pada perilaku ini yang melemahkan Islam. Perilaku ini telah menunjukkan wajah buruk dan sadis Islam kepada non-muslim, bahkan kepasa sebagian umat Islam lainnya. Sekaitan dengan ini Allamah Sayyid Muhsin Amin mengatakan, “Bila diandaikan perbuatan itu merupakan bagian tak terpisahkan dari agama Islam, lalu apa pentingnya melaksanakan perbuatan seperti qameh zani, sementara hal itu menyebabkan noktah hitam bagi agama Islam dan pemeluknya. Perbuatan ini hanya akan membuat masyarakat benci dan muak dengan agama. Apakah ketakwaan dan keberhati-hatian tidak membuat orang tergerak hatinya untuk menghentikan perbuatan ini? Seandainya kita katakan qameh zani itu boleh sekalipun perbuatan ini harus kita tinggalkan. Ia bukan kewajiban agama dan bila ditinggalkan pun tidak merugikan agama.”

Imam Khomeini ra malah mengatakan, “Kalian ingin melakukan pekerjaan demi Allah. Sementara pekerjaan yang kalian lakukan malah merugikan Islam. Oleh karena itu lebih baik bila kalian tidak melakukannya. Contohnya adalah qameh zani yang menyebakan Islam lemah, namun tradisi Azadari sebisa mungkin kalian lakukan dengan agung.”

Terlepas dari tiga alasan di atas, sebagian dari mereka yang mengklaim dibolehkannya qameh zani mengatakan, “Kami melakukan perbuatan ini mengingat musibah yang menimpa Imam Husein as. Sedemikian hebatnya rasa sedih yang menghinggapi kami sehingga kami kehilangan kesadaran dan menjadi orang yang gila akan Imam Husein as.

Tentu saja pernyataan ini sangat menggelikan. Apakah posisi mereka ini lebih tinggi dari para Imam as? Bukankan para Imam begitu ketat dalam melaksanakan perintah Allah. Mereka sadar dengan segala perbuatan yang dilakukan. Bahkan Imam Husein as dalam buku Al-Luhuf pada malam Asyura berkata kepada Sayyidah Zainab as agar tidak merobek-robek kerah baju dan tidak berteriak. Orang-orang yang melakukan qameh zani seharusnya mengetahui bahwa peristiwa Asyura bukan kebangkitan yang ingin mendidik orang gila dan menyerahkannya ke tengah masyarakat. Kebangkitan Asyura punya tujuan agung dan mulia. Kebangkitan Imam Husein as mengajarkan kebebasan dan kemuliaan dalam menjalani kehidupan.

Argumentasi Keharaman Qameh Zani

1. Qameh Zani adalah bidah
Bidah sebagaimana diketahui memiliki dua makna; bahasa dan istilah. Dari sisi bahasa bidah berarti perbuatan baru, sementara dalam istilah bidah adalah menambahkan masalah atau hukum baru ke dalam agama seperti menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan sesuatu yang halal. Qameh zani sesungguhnya termasuk bidah baik dari sisi bahasa maupun istilah.

Dari sisi bahasa, setiap perbuatan baru yang belum terbukti apakah ia termasuk agama atau bukan, sementara dampaknya adalah melemahkan agama, maka dapat dipastikan melakukan perbuatan tersebut haram hukumnya. Qameh zani juga merupakan perbuatan baru yang tidak pernah dilakukan di masa awal Islam, bahkan di masa para Imam atau abad-abad yang masih berdekatan dengan masa hidup mereka. Sekaitan dengan masalah ini Syahid Muthahhari dalam buku Jazebah va Dafeah Ali as mengatakan, “Qameh zani dan mengangkat genderang dan terompet adalah budaya Kristen Ortodoks kawasan Kaukasus yang menyebar ke Iran. Dikarenakan jiwa masyarakat Iran siap menerima pengaruh ini, dengan cepat budaya ini menyebar di kalangan masyarakat Iran.” Yang lebih menarik lagi, menurut penuturan Syahid Muthahhari, “Melukai badan dengan silet, memukul badan dengan rantai, menabuh genderang dan meniup terompet sampai sekarang masih dilakukan oleh para pemeluk Kristen Ortodoks saat memperingati kematian Isa Al-Masih.”

Sementara dari sisi istilah, secara umum bila seseorang melakukan perbuatan yang tidak ada dalil mengenai wajib atau sunnahnya lalu melakukannya dengan keyakinan perbuatan itu wajib atau sunnah, maka perbuatan itu pasti haram hukumnya. Sekaitan dengan hal ini Imam Khomeini ra. dalam buku Ushul Fiqih-nya Anwar Al-Hidayah menulis, “Pensyariatan (tasyri’) artinya memasukan sesuatu yang bukan agama ke dalam agama. Ini sama dengan bidah.”

Mereka yang melakukan qameh zani dengan niat bahwa perbuatan ini adalah ibadah padahal perbuatan ini tidak ada hubungannya dengan agama sama sekali. Allamah Sayyid Muhsin Amin dalam buku At-Tanzih menulis, “Dosa terbesar ketika manusia melaksanakan perbuatan bidah dan menyebutnya perbuatan sunnah, atau perbuatan sunnah ditampakkan sebagai perbuatan bidah. Banyak hal yang dilarang dalam penyelenggaraan acara Asyura Imam Husein as. seperti; berbohong, menyiksa diri, teriakan wanita, teriakan brutal dan hal-hal yang dilakukan atas nama agama tapi menurunkan kehormatan agama.”

2. Citra buruk agama
Maksud dari ungkapan melemahkan agama yang dipakai oleh para ulama dalam mendedah asal-usul qameh zani punya arti ketika seseorang melaksanakan sebuah perbuatan dalam acara Asyura Imam Husein as. lalu orang lain melihatnya dan menuduh mazhab Syiah penyebar kekerasan, kebuasan dan khurafat. Dampak dari perbuatan ini tentu saja melemahkan agama dan membuat manusia menjauhinya. Ini merupakan dalil terpenting terkait haramnya perbuatan qameh zani dalam memperingati syahdah Imam Husein as. di hari Asyura.

Hingga saat ini banyak jaringan televisi dan media anti Islam di dunia yang berusaha memburuk-burukkan Islam dengan membuat laporan atau tayangan tentang qameh zani yang dilakukan di sebagian negara. Mereka ingin menunjukkan wajah Islam yang buas dan keras. Sebagian malah mereproduksi foto-foto lama untuk membuktikan betapa perilaku ini ada dan menjadi syiar mazhab Syiah. BBC pernah menayangkan liputan tentang qameh zani dengan judul “Pedang Islam”. Media-media ini begitu getol mencari apa saja yang bisa dipakai untuk melemahkan dan memperburuk citra Islam di dunia. Salah satunya adalah qameh zani ini.

Hal ini dengan tegas disampaikan oleh Ayatullah Al-Udzma Sayyid Ali Khamenei saat bertemu dengan masyarakat Mashad 12 tahun lalu. Beliau mengatakan, “Ketika Komunis menguasai Azerbaijan di masa Uni Soviet, mereka berusaha memusnahkan segala warisan Islam. Mereka menjadikan masjid sebagai gudang, sehingga tidak ada bekas mengenai Islam dan Syiah. Hanya satu hal yang mereka perbolehkan dan itu adalah qameh zani. Para petinggi Komunis memerintahkan anak buahnya agar tidak membiarkan orang-orang muslim melakukan shalat berjamaah atau membaca Al-Quran, tapi diperbolehkan melakukan qameh zani. Karena qameh zani bagi mereka adalah alat propaganda anti agama dan Syiah.” [islammuhammadi/sl]

Minggu, 27 Desember 2009

Adab dan Tata Cara Melakukan Azadari Asyura


Melakukan peringatan Azadari (ritual berkabung) Asyura punya tata cara yang dapat membantu kita menemukan pencerahan dan hakikat Asyura. Untuk itu ada beberapa poin yang patut diperhatikan sebagai berikut:

1. Berpakaian Hitam
Menurut pandangan fiqih, memakai pakaian hitam itu hukumnya makruh. Tapi dalam Azadari Imam Husein as dan para Imam yang lain telah dikecualikan. Karena berpakaian hitam pada acara peringatan Azadari menunjukkan rasa sedih, syiar dan semangat patriotik.


2. Ucapan Belasungkawa

Pada prinsipnya, Islam mensunnahkan ucapan belasungkawa kepada seseorang yang tertimpa musibah. Dalam buku Safinah Al-Bihar disebutkan Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang menyampaikan ucapan belasungkawa kepada orang yang tertimpa musibah, ia akan mendapat pahala yang sama dengan orang tersebut.”

Dalam budaya orang-orang Syiah, sunnah menyampaikan ucapan belasungkawa ini biasanya dilakukan satu sama lain dengan mengucapkan “’Azzhamallahu Ujurakum”.

Dalam buku kumpulan hadis Mustdrak Al-Wasail disebutkan, Imam Muhammad Baqir as berkata, “Ketika orang-orang Syiah bertemu dalam musibah Imam Husein as, mereka mengulangi ucapan ini,
عَظّمَ اللهُ اُجُورَنا بمُصابِنا بالحسین (ع) و جعلَنا و ایّاکم من الطّالبین بِثارِه مع ولیّه المامِ المهدی من آل محمد علیهم السلام
Semoga Allah menambahkan pahala kita dengan Azadari Imam Husein as dan menjadikan kita dan kalian semua termasuk orang-orang yang menuntut daranya bersama walinya Imam Mahdi af dari keluarga Muhammad as.

3. Meninggalkan Pekerjaan
Disebutkan dalam buku Amali karya Syaikh Shaduq Imam Shadiq as berkata, “Seseorang yang meliburkan pekerjaannya di hari Asyura dan bersikap bertentangan dengan Bani Umayah yang menjadikan hari Asyura sebagai hari penuh berkah, Allah akan memberikan kepadanya apa yang dibutuhkan di dunia dan di akhirat. Siapa saja yang bersedih di hari Asyura, sebagai balasannya Allah akan menjadikan hari menakutkan di Hari Kiamat menjadi hari gembira baginya.”

4. Membaca dan Melakukan Ziarah
Buku Misbah Al-Mutahajjid memuat sebuah hadis yang menarik terkait percakapan Imam Baqir as dengan ‘Alqamah bin Hadhrami. Suatu hari ‘Alqamah berkata kepada Imam Baqir as, “Ajarkan aku sebuah doa yang dapat kubaca dari dekat, jauh atau dari rumahku di hari Asyura!” Imam berkata, “Wahai ‘Alqamah! Setiap kali engkau ingin berdoa, laksanakan shalat dua rakaat kemudian bacalah Ziarah Asyura. Bila engkau telah membaca Ziarah Asyura itu berarti engkau telah berdoa sama seperti yang didoakan oleh para malaikat kepada mereka yang menziarahi Imam Husein as dan Allah menuliskan untukmu ratusan ribu derajat. Engkau seperti seseorang yang syahid bersama Imam Husein agar dapat sederajat dengan mereka. Engkau tidak akan dikenal melainkan termasuk para syahid yang bersama Imam Husein as. Buatmu juga akan dituliskan pahala dan ziarah setiap nabi dan rasul. Engkau juga akan mendapatkan pahala setiap orang yang menziarahi Imam Husein as sejak beliau syahid.”

5. Menangis

Dalam sebuah hadis Qudsi disebutkan, Allah berfirman kepada Nabi Musa as, “Wahai Musa! Setiap hamba-Ku yang menangis di hari syahadah anak Musthafa saw (hari Asyura) atau berusaha untuk menangis dan mengucapkan belasungkawa atas musibah yang menimpat cucu Rasulullah saw akan dimasukkan ke dalam surga.”

6. Menyelenggarakan Majelis Azadari

Sebuah hadis dari buku Wasail Al-Syiah mengutip ucapan Imam Shadiq as yang berkata, “Saya menyukai majelis Azadari (ritual berkabung) Asyura yang kalian selenggarakan. Dalam majelis yang semacam ini kalian menghidupkan “urusan kami”. Allah merahmati siapa saja yang menghidupkan urusan kami.

7. Shalat Zuhur Berjamaah Hari Asyura
Imam Husein as dan para sahabat setianya syahid di jalan menegakkan shalat. Masalah ini tertuang dalam Ziarah Mutlak Imam Husein as saat kita berbicara kepadanya:
اشهد انک قد اقمت الصلاة و اتیت الزکاة و امرت بلمعروف ونهیت عن المنکر
Aku bersaksi bahwa engkau menegakkan shalat, mengeluarkan zakat dan memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar.

8. Tidak makan dan minum (Imsak)
Setiap orang di hari Asyura hendaknya meninggalkan kelezatan kehidupan termasuk makan, minum bahkan tidur, berkata-kata (kecuali bila memang diperlukan), melakukan silaturahmi dan menjadikan hari itu dikhususkan untuk menangis dan bersedih hati. Seseorang hendaknya menunjukkan dirinya seperti seorang ayah yang kehilangan anaknya.

Dalam buku Mizan Al-Hikmah diriwayatkan, Imam Shadiq as berkata, “Seseorang di hari Asyura hendaknya meninggalkan pekerjaan yang memberikan kenikmatan dan menegakkan tata cara Azadari. Hendaknya ia tidak makan dan minum hingga matahari tergelincir. Setelah itu ia boleh makan sesuai dengan yang dimakan oleh mereka yang berdukacita.”

Seorang ulama mengatakan, “Sejak hari ketujuh bulan Ramadhan, ketika musuh tidak lagi memperbolehkan Imam mendapatkan air, hendaknya kalian berusaha untuk tidak minum air. Kalian boleh memanfaatkan minuman yang lain tapi sebagai penghormatan kepada Imam Husein as dan keluarganya berusahalah untuk tidak minum air.”

9. Ikhlas
Sebisa mungkin tidak melakukan Azadari dikarenakan kebiasaan, tapi lakukanlah itu dengan niat yang ikhlas dan demi Allah semata. Karena perbuatan sekecil apapun bila dilakukan dengan niat yang ikhlas dan jujur lebih baik dari perbuatan besar yang tidak ada unsur ikhlas dan jujur. Masalah ini dengan baik dapat ditemukan kisah Nabi Nabi Adam as. Karena ibadah ribuan tahun yang dilakukan Iblis ternyata tidak mampu menyelamatkannya dari api jahannam.

Di sini dalam melakukan amal perbuatan apa saja, hendaknya perbuatan itu tidak dikotori dengan riya’ dan ingin dipuji oleh manusia.

10. Ziarah Belasungkawa
Dalam buku Al-Muraqabah menjelang akhir hari Asyura diharapkan membaca ziarah dengan niat mengucapkan belasungkawa dan tutup hari Asyura dengan harapan ingin memperbaiki diri dan meminta ampunan atas kelalaian dan kekurangan. [islammuhammadi/sl]

Kamis, 03 Desember 2009

Keutamaan dan Amalan di Bulan Dzul Qa`idah

Bulan Dzul Qa`idah adalah awal bulan haji yang kemuliaannya disebutkan oleh Allah swt dalam kitab-Nya yang mulia.

Sayyid Ibnu Thawus meriwayatakan bahwa bulan Dzul Qa`idah adalah bulan diijabahnya doa, khususnya bagi orang yang sedang kesulitan.

Tentang keutamaan bulan Dzul-Qaidah, Rasullullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang melakukan shalat sunnah di dalamnya, maka taubatnya diterima, dosa-dosanya diampuni, musuh-musuhnya ridha pada hari Kiamat, matinya dalam keadaan beriman, agamanya tidak dicabut darinya, kuburnya diluaskan dan diterangkan, kedua orang tuanya diridhai dan dosa mereka diampuni oleh Allah, rizkinya diluaskan, sakrakatul mautnya dikasihi oleh Malaikat dan ruhnya dicabut dari jasadnya dengan mudah.”

Amalan di Bulan Dzul-Qaidah
Bagi yang ingin memperoleh keutamaan bulan ini, hendaknya mandi sunnah pada hari pertama, kemudian berwudhu’ dan melakukan shalat sunnah empat rakaat (2 kali salam). Caranya: setiap rakaat sesudah Fatihah, membaca Surat Al-Ikhlas (3 kali), An-Nas (3 kali) dan Al-Falaq (sekali). Sesudah shalat membaca Istighfar (70 kali), kemudian membaca:

لاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
Lâ Hawla walâ quwwata illâ billâhil ‘aliyil ‘azhîm.
Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.

يَاعَزِيْزُ يَاغَفَّارُ اِغْفِرْلِي ذُنُوْبِى وَذُنُوْبَ جَمِيْعِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ. فَإِنَّهُ لاَيَغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلاَّ اَنْتَ
Yâ `Azîzu yâ Ghaffâru, ighfirlî dzunûbî wa dzunûba jamî`il mu’mîna wal mu’minât. Fainnahu lâ yaghfirudz dzunûba illâ Anta.
.
Wahai Yang Maha Mulia, wahai Yang Maha Pengampun, ampuni dosa-dosaku dan dosa-dosa mukminin dan mukminat, tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.

Dalam suatu riwayat disebutkan: “Barangsiapa berpuasa pada bulan yang mulia ini tiga hari: Kamis, Jum’at, dan Sabtu, Allah mencatat baginya seperti beribadah sembilan ratus tahun.”

Syeikh Ali bin Ibrahim berkata: Sungguh pada bulan-bulan yang mulia keburukan dilipatgandakan demikian juga kebaikan. Tanggal 11 Dzul Qaidah 148 H adalah hari kelahiran Imam Ali Ar-Ridha (sa). Malam tanggal 15 Dzul Qa`idah adalah malam yang penuh barakah, malam Allah memandang hamba-hamba-Nya yang mukmin dengan rahmat-Nya, memberi seratus pahala kepada orang yang beramal dalam ketaatan kepada Allah, juga kepada orang yang berpuasa yang hatinya selalu terkait dengan masjid dan matanya tidak bermaksiat kepada Allah, khususnya di dalam masjid Nabawi. Karena itu, hendaknya menghidupkan malam itu dengan ibadah, ketaatan, shalat dan memohon hajat-hajat Anda kepada Allah swt.

Dalam suatu riwayat juga disebutkan: “Barangsiapa yang memohon hajatnya kepada Allah pada malam ini, Allah akan memberi hajat yang dimohonnya.”

Tanggal 23 Dzul Qaidah tahun 200 H adalah hari wafatnya Imam Ali Ar-Ridha (sa). Sebagian ulama berkata: Pada hari ini disunnahkan berziarah kepada Imam Ar-Ridha (sa) dari dekat atau dari kejauhan. Sayyid Ibnu Thawus berkata di dalam kitabnya Al-Iqbal: Aku temui dalam sebagian kitab-kitab sahabat-sahabat kami (semoga Allah merahmati mereka): Pada hari ini, tanggal 23 Dzul Qaidah disunnahkan berziarah kepada Imam Ali Ar-Ridha (sa) dari dekat atau dari kejauhan.

Tanggal 25 Dzul Qa`idah dan Amalannya
Malam Tanggal 25 Dzul Qaidah adalah malam bumi dibentangkan dari bawah Ka’bah di atas air. Malam ini adalah malam yang mulia, malam diturunkannya rahmat Allah swt. Barangsiapa yang bangun malam untuk beribadah, ia akan memperoleh pahala yang tak terhingga.

Diriwayatkan dari Al-Hasan bin Ali Al-Wasysya’, ia berkata: Pada suatu ketika aku bersama ayahku, ketika itu aku masih kecil, kemudian kami makan malam di dekat makam Imam Ali Ar-Ridha (sa), malam itu adalah malam tanggal 25 Dzul-Qaidah, ia berkata kepadanya: malam 25 Dzul-Qaidah adalah malam kelahiran Nabi Ibrahim (as) dan Nabi Isa (as), malam ini adalah malam dibentangkannya bumi dari bawah Ka’bah. Barangsiapa yang berpuasa pada hari ini, nilainya sama dengan berpuasa 60 bulan.

Hari ke 25 adalah hari dibentangkannya bumi. Hari ini adalah termasuk hari yang empat, yang utama dan istimewa untuk berpuasa setiap tahun. Hari ini adalah hari Allah swt menebarkan rahmat-Nya, hari beribadah dan berkumpul untuk berdzikir kepada Allah, dan pahalanya sangat besar.

Dalam riwayat yang lain juga dikatakan bahwa selain puasa, ibadah, dzikir dan mandi, ada dua lagi amalan, yaitu:

Pertama: Melakukan shalat sebagaimana yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Ahlul bait (sa). Yaitu, shalat dua rakaat pada waktu Dhuha. Caranya, setelah Fatihah membaca surat Asy-Syams (5 kali), dan setelah salam membaca:

لاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
Lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâhil ‘Aliyil ‘Azhîm.

Kemudian membaca doa:
بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على محمد وآل محمد
يَامُقِيْلَ الْعَثَرَاتِ اَقِـلْنِى عَثْرَتِى. يَامُجِيْبَ الدَّعَوَاتِ اَجِبْ دَعْوَتِى. يَاسَامِعَ اْلاَصْوَاتِ اِسْمَعْ صَوْتِى. وَارْحَمْنِي وَتَجَاوَزْ عَنْ سَيِّئَاتِي وَمَاعِنْدِى يَاذَالْجَلاَلِ وَاْلاِكْرَامِ


Bismillâhir Rahmânir Rahîm
Allâhumma shalli ‘alâ Muhammad wa âli Muhammad


Yâ Muqîlal ‘atsarati aqilnî ‘atsratî. Yâ Mujîbad da`awâti ajib da`watî. Yâ Samî’al ashwati isma’ shawtî warhamni wa tajâwaz `an sayyiâti wa mâ ‘indî yâ Dzal jalâli wal ikrâm.

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Rasulullah dan keluarganya

Wahai Yang Mengampuni dosa-dosa, ampuni dosaku. Wahai Yang Memperkenankan setiap doa, perkenankan doaku. Wahai Yang Mendengar semua suara, dengarlah suaraku, kasihanilah daku, dan ampunilah kejelekan-kejelekanku, wahai Yang Memiliki keagungan dan kemuliaan.

Kedua: disunnahkan membaca doa berikut:

بسم الله الرحمن الرحيم
اللهم صل على محمد وآل محمد

Bismillâhir Rahmânir Rahîm
Allâhumma shalli ‘alâ Muhammad wa âli Muhammad

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
Ya Allah, sampaikan shalawat kepada Rasulullah dan keluarganya

اَللّهُمَّ داحِيَ الْكَعْبَةِ، وَفالِقَ الْحَبَّةِ، وَصارِفَ اللَّزْبَةِ، وَكاشِفَ كُلِّ كُرْبَة، اَسْاَلُكَ في هذَا الْيَوْمِ مِنْ اَيّامِكَ الَّتي اَعْظَمْتَ حَقَّها، وَاَقْدَمْتَ سَبْقَها، وَجَعَلْتَها عِنْدَ الْمُؤْمِنينَ وَديعَةً، وَاِلَيْكَ ذَريعَةً، وَبِرَحْمَتِكَ الْوَسيعَةِ اَنْ تُصَلِّيَ عَلى مُحَمَّد عَبْدِكَ الْمُنْتَجَبِ فِى الْميثاقِ الْقَريبِ يَوْمَ التَّلاقِ، فاتِقِ كُلِّ رَتْق، وَداع اِلى كُلِّ حَقِّ، وَعَلى اَهْلِ بَيْتِهِ الاَْطْهارِ الْهُداةِ الْمَنارِ دَعائِمِ الْجَبّارِ، وَوُلاةِ الْجَنَّةِ وَالنّارِ

Allâhumma dâhiyal ka’bati wa fâliqal habbati wa sharifal lazbati wakâsyifa kulli kurbatin. As-aluka fî hâdzal yawmi min ayyâmika. Allatî a’zhamta haqqahâ wa aqdamta sabqahâ. Wa ja’altahâ ‘indal mu’minîna wadî’atan. Wa ilayka dzarî’atan. Wa birahmatikal wasî’ati an tushalliya `alâ muhammadin `abdikal muntajabi fil mîtsâqil qarîbi, yawmat talâq. Fâtiqi kulli ratqin, wa dâ’in ilâ kulli haqqin. Wa `alâ ahli baytihil athhâr alhudâtil manâri, da`âimil jabbâr wa wulâtil jannati wan nâri.

Ya Allah, wahai Yang Membentangkan Ka’bah, wahai Yang Membelah biji-bijian, wahai Yang merubah kekuatan, wahai Yang Menghilangkan setiap derita. Aku memohon kepada-Mu pada hari ini, yaitu hari di antara hari-hari-Mu yang Kau muliakan haknya, yang Kau dahulukan keagungannya, yang Kaujadikan bagi orang-orang yang beriman sebagai titipan, dan wasilah kepada-Mu dengan rahmat-Mu yang luas. Sampaikan shalawat kepada Muhammad, hamba-Mu yang mulia dalam Perjanjian yang dekat pada hari kiamat, hamba-Mu, pembuka setiap kemaslahatan, dan penyeru kebenaran; sampaikan juga shalawat itu kepada keluarganya yang suci, pembimbing pada cahaya, kepercayaan Zat Yang Maha Perkasa, pemegang kunci surga dan neraka.

وَاَعْطِنا في يَوْمِنا هذا مِنْ عَطائِكَ الَْمخْزوُنِ غَيْرَ مَقْطوُع وَلا مَمْنوُع، تَجْمَعُ لَنا بِهِ التَّوْبَةَ وَحُسْنَ الاَْوْبَةِ، يا خَيْرَ مَدْعُوٍّ، وَاَكْرَمُ مَرْجُوٍّ، يا كَفِيُّ يا وَفِيُّ

Wa a’thinâ fî yawminâ hâdzâ min `athâikal makhzûni ghayri maqthû’in walâ mamnû`in. Tajma`u lanâ bihit tawbata wa husnal awbah. Yâ Khayra mad`uwwin wa Akrama marjuwwin, yâ Kafiyyu yâ Wafiyyu.

Pada hari yang agung ini anugrahkan kepada kami karunia-karuniaMu yang tersimpan, yang tak terputus dan tak terhalangi, sehingga dengannya Kau himpunkan bagi kami taubat dan kebaikan penyesalan. Wahai Tumpuan Yang Terbaik, wahai Harapan Yang Termulia, wahai Yang Maha Mencukupi, wahai Yang Maha Menepati janji-Nya,

يا مَنْ لُطْفُهُ خَفِيٌّ اُلْطُفْ لي بِلُطْفِكَ، وَاَسْعِدْني بِعَفْوِكَ، وَاَيِّدْني بِنَصْرِكَ، وَلا تُنْسِني كَريمَ ذِكْرِكَ بِوُلاةِ اَمْرِكَ، وَحَفَظَةِ سِرِّكَ، وَاحْفَظْني مِنْ شَوائِبِ الدَّهْرِ اِلى يَوْمِ الْحَشْرِ وَالنَّشْرِ، وَاَشْهِدْني اَوْلِياءِكَ عِنْدَ خُرُوجِ نَفْسي، وَحُلُولِ رَمْسي، وَانْقِطاعِ عَمَلي، وَانْقِضاءِ اَجَلي

Yâ Man luthfuhu khafiyyun ulthuf lî biluthfika. Wa as`idnî bi’afwika. Wa ayyidnî binashrika. Walâ tansanî karîma dzikrika biwulâti amrika wa hafazhati sirrika. Wa ashidnî min syawâyibid duhûri ilâ yawmil hasyri wan nasyri. Wa asyhidnî awliyâika `inda khurûji nafsî wahulûli ramsî wanqithâ`i `amalî wanqidhâi ajalî.

Wahai Yang karunia-Nya tersembunyi, anugrahkan padaku karunia-Mu dengan kelembutan-Mu. Tolonglah daku dengan ampunan-Mu. Kokohkan aku dengan pertolongan-Mu. Jangan lupakan daku pada kemuliaan sebutan-Mu dengan menjalankan perintah-Mu dan memelihara rahasia-Mu. Lindungi daku dari keburukan-keburukan zaman hingga hari kiamat. Perlihatkan padaku para kekasih-Mu saat kematian menjemputku, saat kuburku telah disiapkan, saat amalku diputuskan dan ajalku ditetapkan.

اَللّهُمَّ وَاذْكُرْني عَلى طُولِ الْبِلى اِذا حَلَلْتُ بَيْنَ اَطْباقِ الثَّرى، وَنَسِيَنِى النّاسُونَ مِنَ الْوَرى، وَاحْلِلْني دارَ الْمُقامَةِ، وَبَوِّئْني مَنْزِلَ الْكَرامَةِ، وَاجْعَلْني مِنْ مُرافِقي اَوْلِيائِكَ وَاَهْلِ اجْتِبائِكَ وَاصْطَفائِكَ، وَباركْ لي في لِقائِكَ، وَارْزُقْني حُسْنَ الْعَمَلِ قَبْلَ حُلُولِ الاَْجَلِ، بَريئاً مِنَ الزَّلَلِ وَسوُءِ الْخَطَلِ
Allâhumma wadzkurnî ‘alâ thûlil bilâ. Idzâ halalta bayna atbâqits tsarâ, wa nasiyanin nâsûna minal warâ. Wa ahlinî dâral muqâmati, wa bawwi`nîmanzilal karâmati. Waj’alnî min murâfiqi awliyâika wa ahliahibbâika washthifâika. Wa bâriklî fî Liqâika. Warzuqni husnal amali qabla hulûlil ajali barîan minaz zalali wa sûil khathali.

Ya Allah, ingatkan aku pada cobaan yang panjang masanya ketika Kau anugerahkan padaku kekayaan, saat dan manusia melupakanku. Tempatkan daku di tempat yang mulia. Jadikan aku sahabat para kekasih-Mu dan keluarga kekasih-Mu dan pilihan-Mu.
Berkahi daku dalam perjumpaan dengan-Mu. Anugerahi daku amal yang terbaik sebelum ajal menjemputku, Sucikan daku dari segala dosa dan perbuatan yang hina.

اَللّهُمَّ وَاَوْرِدْني حَوْضَ نَبِيِّكَ مُحَمَّد صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ، وَاسْقِني مِنْهُ مَشْرَباً رَوِيّاً سائِغاً هَنيئاً لا اَظْمَأُ بَعْدَهُ وَلا اُحَلاَُّ وِرْدَهُ وَلا عَنْهُ اُذادُ، وَاجْعَلْهُ لي خَيْرَ زاد، وَاَوْفى ميعاد يَوْمَ يَقُومُ الاَْشْهادُ
Allâhumma wa awwridnî hawdha nabiyyika Muhammadin shallallâhu ‘alayhi wa âlihi. Wasqinî minhu masyraban rawiyyan sâighan hanîan lâ azhmau ba’dahu walâ uhallau wirdahu walâ ‘anhu udzâd. Waj’alhulî khayra zâdin wawfâ mî`âdin yawma yaqûmul asyhâd.

Ya Allah, bawalah daku ke telaga Nabi-Mu Muhammad saw. Berilah daku dari telaganya minuman yang segar, yang tak akan haus lagi sesudahnya, dan selalu rindu untuk kembali padanya. Karuniakan padaku sebaik-baik bekal saat janji-Mu ditegakkan dan para saksi di hadapkan.

اَللّهُمَّ وَالْعَنْ جَبابِرَةَ الاَْوَّلينَ وَالاْخِرينَ، وَبِحُقُوقِ اَوْلِيائِكَ الْمُسْتَأثِرِينَ اَللّهُمَّ وَاقْصِمْ دَعائِمَهُمْ وَاَهْلِكْ اَشْياعَهُمْ وَعامِلَهُمْ، وَعَجِّلْ مَهالِكَهُمْ، وَاسْلُبْهُمْ مَمالِكَهُمْ، وَضَيِّقْ عَلَيْهِمْ مَسالِكَهُمْ، وَالْعَنْ مُساهِمَهُمْ وَمُشارِكَهُمْ

Allâhumma waal’an jabâbiratal awwalîna wal âkhirîna lihuqûqi awliyâikal musta’tsirîn. Allâhumma waqshim da`âimahum. Wa ahlik asyyâ`ahum wa`âilahum. Wa `ajjil mahâlikahum Waslubhum mamâlikahum. Wadhayyiq ‘alayhim masâlikahum. Wal`an musâhimahum wa masyârikahum.

Ya Allah, laknatlah orang-orang yang menzalimi hak para kekasih-Mu, dari dahulu hingga sekarang. Ya Allah, hancurkan benteng-benteng mereka. Binasakan pengikut-pengikut mereka dan keluarga mereka. Percepatlah kebinasaan mereka. Porakporandakan kerajaan mereka. Sempitkan jalan mereka. Dan laknatlah sahabat-sahabat mereka dan penolong-penolong mereka.

اَللّهُمَّ وَعَجِّلْ فَرَجَ اَوْلِيائِكَ، وَارْدُدْ عَلَيْهِمْ مَظالِمَهُمْ، وَاَظْهِرْ بِالْحَقِّ قائِمَهُمْ، وَاجْعَلْهُ لِدينِكَ مُنْتَصِراً، وَبِاَمْرِكَ في اَعْدائِكَ مُؤْتَمِراً

Allâhumma wa `ajjil faraja awliyâika. Wardud ‘alayhim mazhâlimahum. Wa azhhir bilhaqqi qâimahum. Waj`al lidînika muntashiran wa biamrika fî a`dâika mu’tamirâ.

Ya Allah, percepatlah kehadiran kekasih-Mu. Patahkan kezaliman musuh-musuh mereka.
Tampakkan kebenaran dengan kehadiran shahibuz zaman. Jadikan ia penolong agama-Mu, dengan ketentuan-Mu jadikan ia penguasa musuh-musuh-Mu.

اَللّهُمَّ احْفُفْهُ بِمَلائِكَةِ النَّصْرِ وَبِما اَلْقَيْتَ اِلَيْهِ مِنَ الاَْمْرِ في لَيْلَةِ الْقَدْرِ، مُنْتَقِماً لَكَ حَتّى تَرْضى وَيَعوُدَ دينُكَ بِهِ وَعَلى يَدَيْهِ جَديداً غَضّاً، وَيَمْحَضَ الْحَقَّ مَحْضاً، وَيَرْفُضَ الْباطِلَ رَفْضًا

Allâhummahfufhu bimalâikatin nashri, wa bimâ alqayta ilayhi minal amri fî laylatil qadri muntaqaqiman laka. Hattâ tardhâ wa ya’ûda dînuka bihi wa ’alâ yadayhi jadîdan ghadhdhan. Wa yamhadhal haqqa mahdhan, wa yarfudhal bâthila rafdhâ.

Ya Allah, bentengi ia dengan para Malaikat pemberi pertolongan, dengan perkara yang Kau sampaikan kepadanya pada malam al-Qadar sebagai pembalasan dari-Mu. Sehingga Engkau ridha pada kami dan agama-Mu kembali bersamanya dalam keadaan jernih dan suci. Tegakkan kebenaran dengan jelas-jelasnya, dan hancurkan kebatilan dengan kehancuran yang sebenarnya.

اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَعَلى جَميعِ آبائِهِ، وَاجْعَلْنا مِنْ صَحْبِهِ وَاُسْرَتِهِ، وَابْعَثْنا في كَرَّتِهِ حَتّى نَكُونَ في زَمانِهِ مِنْ اَعْوانِهِ، اَللّهُمَّ اَدْرِكْ بِنا قِيامَهُ، وَاَشْهِدْنا اَيّامَهُ، وَصَلِّ عَلَيْهِ وَارْدُدْ اِلَيْنا سَلامَهُ، وَالسَّلامُ عَلَيْهِ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاتُهُ


Allâhumma shalli `alayhi wa `alâ jamî’i abâihi, waj`alnâ min shabihi wa usratihi. Wab’atsnâ fî kurratihi hattâ nakûna fî zamânihi min a`wânihi. Allâhumma adrik binâ qiyâmuhu, wa asyhidnâ ayyâmahu wa shalli `alâ Muhammadin wa âlihi. Wardud ilaynâ salâmahu wassalâmu `alayhi wa `alayhim wa rahmatullâhi wa barakâtuh.

Ya Allah, sampaikan shalawat kepadanya dan bapak-bapaknya. Jadikan kami sahabatnya dan keluarganya. Bangkitkan kami dalam perjuangannya sehingga kami menjadi pasukannya di zamannya.

Ya Allah, pertemukan kami dengan kehadirannya. Perlihatkan kepada kami hari-harinya.
Sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya, dan alirkan pada kami kedamaiannya. Semoga salam dan rahmat Allah serta keberkahan-Nya senantiasa tercurahkan kepadanya.
(Mafâtihul Jinân: bab 2, pasal 5)

Wassalamu’alaikum wr.wb
http://id.alfusalam.web.id
http://shalatdoa.blogspot.com