Senin, 28 Desember 2009

Melukai Badan: antara Sunnah dan Bidah?

Urgensi Azadari
Kebangkitan Imam Husein as memiliki pesan bagi seluruh bangsa dan manusia, kapan dan di mana saja. Pesan yang akan langgeng sepanjang masa. Namun dalam kondisi ketika kekuatan-kekuatan zalim dan imperialis berusaha mengaurangi perang Asyura dan mengikis pondasinya, faktor paling penting yang dapat melindungi semangat Asyura bagi generasi yang akan datang adalah upacara Azadari (ritual berkabung) Imam Husein as. Mengadakan acara demi memperingati Imam Husein as, kapan saja, khususnya di sepuluh hari pertama bulan Muharram dan hari Asyura dapat menjadi metode untuk menghidupkan garis para Imam dan menjelaskan ketertindasan mereka.
Di sini, penekanan berulang-ulang Nabi Muhammad saw dan para Imam as telah menggariskan agar penyelenggaraan acara ini harus selaras dengan tujuan mulia. Diriwayatkan dalam buku Bihar Al-Anwar dari Imam Shadiq as, “Allah akan merahmati Syiah kami. Demi Allah orang-orang Syiah adalah mukmin. Mereka bersumpah demi Allah dengan kesedihan berkepanjangan untuk merasakan musibah yang kami temui.” Kepada Fudhail Imam Shadiq as berkata, “Apakah kalian menyelenggarakan majelis ‘Aza (ritual berkabung) dan menceritakan apa yang terjadi terhadap Ahlul Bait?” Fudhail menjawab, “Iya.” Imam kemudian melanjutkan, “Saya menyukai majelis yang seperti ini. Hidupkanlah urusan kami. Barang siapa yang menghidupkan urusan kami akan mendapat rahmat Allah. Wahai Fudhail! Siapa saja yang mengingat kami atau berada di dekat seseorang yang membuatnya mengingat kami dan menitikkan air mata walau seukuran sayap lalatpun, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya, sekalipun sebanyak air di lautan.”

Masih dari buku yang sama, sekaitan dengan hal ini Imam Ridha as berkata, “Siapa yang mengingatkan tentang musibah yang kami derita dan menangis atas kezaliman yang menimpat kami, niscaya di Hari Kiamat ia akan bersama kami dan sederajat dengan kami. Sementara siapa yang menjelaskan tentang musibah kami, ia sendiri menangis dan membuat orang lain menangis dengan penjelasannya, maka di hari (Kiamat) ketika semua mata manusia menangis, ia tidak menangis. Barang siapa yang duduk di sebuah majelis yang menghidupkan urusan kami, niscaya di hari (Kiamat) ketika semua hati mati, hatinya tidak akan mati.

Namun ada poin penting yang dapat diambil dari segala riwayat yang ada bahwa para Imam merekomendasikan penyelenggaraan acara Azadari demi melindungi peristiwa Karbala dan menyampaikan budaya Karbala kepada generasi yang akan datang. Sayangnya, dalam perjalanan sejarah dan perluasan mazhab Syiah acara ini telah bercampur dengan adat dan tradisi etnis dan bangsa lain. Kenyataan ini tentu akan menjadi kendala terbesar demi memahami dengan tepat pesan-pesan Asyura.

Apa itu Qameh dan Siapa Pelaku Qameh
Qameh sejatinya nama sebua senjata yang mirip pedang, namun bentuknya lebih pendek dan lebih lebar. Qameh bentuknya lurus. Sementara orang yang memakai senjata ini di hari Asyura untuk melukai kepalanya atau orang lain disebut qameh zan dan perilaku ini disebut qameh zani. Ini istilah yang dipakai orang-orang Iran, sementara dalam bahasa Arab perilaku ini dikenal dengan nama At-Tathbir.

Mereka yang akan melakukan qameh zani di pagi hari Asyura, pada malam harinya mereka telah menajamkan qameh-nya. Dalam acara Azadari mereka mengikuti acara khusus bernama “masyq qameh” (latihan qameh). Setelah menunaikan shalat subuh hari Asyura mereka keluar dengan tidak memakai penutup kepala, tidak memakai alas kaki dan memakai kain kafan sambil memegang qameh. Sisi atau lebar qameh dipukul-pukulkan ke kepala dan dengan membaca kidung duka dan mengatakan “Haidar” berulang kali mereka siap untuk melakukan qameh zani. Guru qameh zan mulai mengayunkan qameh dua hingga tiga kali ke kepala orang yang ingin mengikuti acara ini, hingga darah mengucur dari kepalanya. Setelah itu sisi qameh diusapkan di atas luka dan mengatakan “Husein” berulang-ulang. Sementara siapa saja yang mampu melakukan qameh zani melakukan pada dirinya sendiri dan melukai kepalanya sesuai yang diinginkan. Terkadang mereka melukai kepalanya berlebihan sampai jatuh pingsaan.

Qameh Zani Dalam Sejarah
Dalam sejarah hampir dapat dipastikan qameh zani di Iran belum ada sebelum Dinasti Safawi (1501-1732), sementara masih ada keraguan apakah perilaku menyiksa diri dalam acara Asyura mulai di masa dinasti ini atau muncul di masa Dinasti Qajar (1792-1925).

Sebagian peneliti percaya qameh zani muncul di zaman Safawi, bahkan mereka menyebut Dinasti Safawi sebagai penggagasnya. Pada waktu itu di hari Asyura para penguasa Dinasti Safawi memerintahkan resimen tentara Qazalbash-nya yang dikenal dengan nama Fedayeen Qazalbash secara teratur melakukan Azadari. Nasrollah Falsafi dalam buku “Tarikh Shah Abbas Kabir” (Sejarah Syah Abbas Kabir) yang merupakan salah buku sejarah paling detil menjelaskan Fedayeen Qazalbash seperti demikian, “Fedayeen Qazalbash yang senantiasa berpenampilan gundul sebagai simbol loyalitas biasanya di hari Asyura mereka keluar sambil membawa pedang. Mereka berpikir apa yang dilakukan ini sebagai bentuk solidaritas dengan apa yang dilakukan para sahabat Imam Husein as. Mereka mengatakan, “Pada hari ini Imam Husein as dan para sahabatnya dipanah. Oleh karenanya kita juga harus menciptakan kondisi yang sama terhadap diri kita. Yakni kita tunjukkan diri kita sebagai orang yang siap berkorban demi Imam Husein as. Kita siap melukai kepala kita. Ini adalah awal mula qameh zani.”

Namun Yousuf Qaravi dalam buku “Tarikh Negari Asyura va Tahrifat-e An” (Penulisan Sejarah Asyura dan Penyimpangannya) menulis, “Ada kemungkinan bahwa perilaku ini pertama kali dilakukan oleh para sufi dan darwisy, sebagaimana ditulis oleh Pietro Della Valle, seorang penjelajah di masa Syah Abbas Pertama. Pietro menulis, “Mayoritas para sufi dan darwisy di tempat-tempat yang banyak dilalui orang mengubur dirinya hingga seluruh badan, bahkan sebagian hingga kepala dalam tanah liat yang telah dibakar, sehingga orang mengira mereka memang benar-benar telah dikuburkan. Mereka bertahan dalam kondisi yang demikian dari terbit hingga terbenamnya matahari. Sebagian lain berkumpul di bundaran kota atau gang-gang bahkan di depan rumah masyarakat dengan tidak memakai alas kaki dan pakaian kecuali kain hitam untuk menutupi aurat mereka. Mereka melumuri seluruh badan hingga kaki dengan sejenis bahan yang menghitamkan namun mengkilat. Mereka diikuti sejumlah orang yang berpenampilan sama tapi seluruh badannya diwarnai merah. Warna merah ini sebagai simbol darah. Sebuah perbuatan buruk yang hari itu dilakukan terhadap Imam Husein as. Semua ini untuk menunjukkan rasa sedih mereka atas musibah yang menimpa Imam Husein as.”

Sejumlah periset lainnya punya keyakinan, qameh zani dilakukan di masa Dinasti Qajar. Sekaitan dengan hal ini, Rasoul Jafarian mengatakan, “Banyak yang menanyakan sejak kapan munculnya qameh zani dan sineh zani (memukul dada)? Untuk menjawab masalah ini ada dua hingga tiga kemungkinan. Namun teori paling serius terkait hal ini menyebut India sebagai sumber aslinya. Karena Syiah di masa Dinasti Safawi telah menyebar hingga ke India dan seiring dengan perluasan pelabuhan Bushehr dan Syiraz perilaku ini juga menyebar di sana. Hal yang sama terjadi juga di Lebanon. Menurut seorang ulama, sejumlah orang Iran tiba di kota Nabatieh. Mereka punya cara dan gaya tersendiri dalam memperingati hari Asyura yang seharusnya fenomena ini dicegah. Ibarat ini terkait akhir masa Dinasti Qajar, “Sumber Azadari adalah para Imam sendiri, namun bentuk Azadari orang-orang Arab mengambil bentuk lain.”

Bentuk Azadari orang-orang Iran muncul lama setelah itu. Sekaitan dengan sejarah qameh zani dan sineh zani dapat dikata tidak melebihi akhir masa Dinasti Qajar. Salah satu alasannya, kita memiliki fatwa-fatwa ulama terkait masalah ini yang keseluruhannya berasal dari akhir-akhir kekuasaan Qajar dan tidak ada sama sekali permintaan fatwa yang lebih lama dari ini. Sistem sineh zani, zanjir zani (memukul punggung dengan rantai) dan qameh zani tidak ada dalam teks-teks Dinasti Safawi. Azadari biasanya dilakukan di rumah-rumah.

Bila mencermati tiga pandangan di atas, tampaknya kita dapat menyimpulkan bahwa akar Azadari sebenarnya telah ada sejak zaman Dinasti Safawi. Tapi tidak dilakukan seperti yang ada saat ini dan dilakukan secara individual, terbatas dan tidak ada bentuk baku. Sementara Azadari dalam bentuk yang ada saat ini ditambah perilaku qameh zani kebanyakan dilakukan di kota-kota oleh para sufi dan darwisy.

Sebuah laporan dari Auliya Chalapi di masa Syah Safi tentang Azadari masyarakat Tabriz yang saat itu menjadi pusat perkumpulan para sufi dan darwisy menguatkan kesimpulan di atas. Dalam buku Iranian va Azadari Ashoura (rakyat Iran dan Azadari Asyura) disebutkan, “Ketika pembaca kisah Asyura sampai pada bagian pembantaian Imam Husein as yang dilakukan oleh Syimr bin Al-Jausyan, pada saat itu masyarakat mengeluarkan gambar jasad anak-anak Imam yang terbunuh dari kemah para syahid. Mereka yang menyaksikan pemandangan memilukan ini lantas berteriak “Wahai Husein” dan semua yang hadir menangis. Setelah itu ratusan orang yang hadir mengeluarkan pedang dan qameh lalu melukai kepala, wajah dan badan mereka.

Sekalipun demikian selama periode Safawi dan Zand, Azadari resmi dan tradisional orang-orang Syiah senantiasa dilakukan dengan membaca kisah musibah dan menyelenggarakan acara ratapan berkabung. Hal ini membuat para turis asing di masa Safawi tidak menulis tentang qameh zani atau zanjir zani. Mereka hanya menyinggung sejumlah perilaku yang dapat menjadi awal dari perbuatan ini. Namun gaya Azadari di masa Dinasti Qajar lebih teratur dan mempengaruhi masyarakat luas. Pierre Loti yang berada di Iran di masa Mozaffareddin Shah menulis tentang qameh zani. Loti menyebutkan, “Para pria melukai kepala mereka. Keringat dan darah mereka mengalir membasahi pundak mereka.”

Argumentasi Qameh Zani
Mereka yang mengklaim diperbolehkannya qameh zani punya beberapa alasan dan berikut ini argumentasi mereka:

1. Mitos Sayyidah Zainab benturkan kepala ke kayu sekedup hingga berdarah
Mereka yang melakukan qameh zani menyandarkan perilakunya dengan sebuah hadis yang tidak dapat dipercaya. Mereka mengatakan, “Bila qameh zani dan melukai kepala di hari Asyura tidak diperbolehkan, lalu mengapa Sayyidah Zainab as membenturkan kepalanya ke kayu sekedup di atas onta hingga berdarah.”

Klaim ini berdasarkan dua argumentasi: Pertama, Sayyidah Zainab as dididik dalam lingkungan wahyu dan tidak akan melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah. Dengan demikian, segala perbuatan yang dilakukannya dapat disimpulkan sebagai suatu kebolehan. Kedua, Imam Ali Zainal Abidin as senantiasa bersama Sayyidah Zainab dan menyaksikan apa yang dilakukan bibinya. Bila perbuatan tersebut tidak boleh, niscaya Imam akan melarangnya. Karena tidak dilarang, maka kesimpulannya adalah boleh dengan dasar taqrir.

Namun patut diketahui bahwa seorang bernama Muslim Al-Jasshash menukil, “Ketika pintu gerbang utama kota Kufah terbuka terdengar sorak-sorai penduduk dan ia menuju asal suara. Sesampainya di sana ia menyaksikan para tahanan Asyura berada di di dalam sekedup, tenda kecil yang berada di atas onta. Sementara kepala Imam Husein as yang terpisah dari badannya dan diletakkan di ujung tombak. Sayyidah Zainab as yang menyaksikan itu tidak mampu menahan perasaan sedihnya dan membenturkan kepalanya ke kayu sekedup. Sedemikian kuatnya ia membenturkan kepalanya hingga darah mengalir dari bawah jilbabnya. Setelah itu ia membaca beberapa bait puisi.”

Riwayat ini disebutkan dalam buku “Nur Al-‘Ain Fi Masyhad Al-Husein” dan mengenai penulis buku ini masih belum ada kejelasan. Satu-satunya penjelasan menyebutkan buku ini ditulis oleh Ibrahim bin Muhammad Naisyaburi Al-Isfarayini yang bermazhab Syafi’i. Namun mayoritas ulama menolaknya. Sekaitan dengan hal ini, Abbas Al-Qummi, penulis buku Mafatih Al-Jinan menjelaskan, “Sulit menerima Sayyidah Zainab as melukai kepalanya. Karena ia punya julukan wanita berakal Bani Hasyim (‘Aqilah Bani Hasyim) dan memiliki derajat Ridha dan Taslim (rela dan berserah diri).” Abbas Al-Qummi kemudian menyebutkan buku-buku terpercaya yang menulis bahwa pada waktu itu sekedup yang dipakai tidak ada kayunya sehingga Sayyidah Zainab as membenturkan kepalanya ke kayu.

Ayatullah Mirza Muhammad Arbab malah menyebut lima alasan ketidakbenaran riwayat tersebut; riwayat ini tidak disebutkan di buku-buku hadis terpercaya, tidak memiliki sanad, penyebutan tentang keberadaan Fathimah binti Husein yang disebut para sejarawan tidak ikut dalam peristiwa Karbala, disebutkan juga tentang bait-bait syair Sayyidah Zainab yang menyebut Imam Husein as berhati keras dan kontradiksi riwayat ini dengan kutipan sejarah yang menyebut Sayyidah Zainab as pribadi yang pasrah kepada Allah.

2. Solidaritas atas penderitaan Imam Husein as
Mereka yang melakukan aksi melukai diri dalam acara Asyura berargumentasi bahwa apa yang mereka lakukan itu merupakan bagian dari upaya memperingati musibah yang menimpa Imam Husein as, keluarga dan para sahabatnya. Karena melukai diri itu bagian dari upaya memperingati dan peringatan Asyura sendiri merupakan syiar ilahi, maka aksi melukai diri ini terhitung menghidupkan syiar Allah dan bahkan sunnah hukumnya.

Patut diketahui bahwa setiap perilaku memiliki definisi dan batasannya. Bila kita ingin memasukkan sebuah perbuatan dalam syariat Islam, tentunya kita harus merujuk pada Allah mengenai hal itu. Apakah memang Allah sebagai pembuat syariat telah menetapkannya atau tidak. Di sini, peringatan Asyura Imam Husein juga harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan.

Sekaitan dengan hal ini, Imam Khomeini ra. dalam buku Kasyf Al-Asrar mengatakan, “Saya juga harus berbicara khusus mengenai acara dan majelis yang diselenggarakan atas nama Imam Husein as. Kita sebagai orang-orang yang beragama tidak pernah mengatakan bahwa siapa saja baik melakukan perbuatan segala perbuatan. Betapa banyak ulama besar dan para ilmuwan yang menyebut perilaku ini (qameh zani) sebagai perbuatan yang tidak benar, bahkan berusaha mencegah perilaku tersebut.”

Harus dikatakan bahwa dalam masalah qameh zani tidak ada satu riwayat pun atau perbuatan yang mirip dengan itu dikategorikan bagian dari peringatan Asyura. Sebaliknya, kita dapat memahami ketidakbolehan perilaku ini dari sejumlah riwayat. Dalam buku Wasail Al-Syiah bab makruh berteriak akibat duka cita dan meratap Jabir bin Abdillah Al-Anshari mengatakan, “Saya bertanya kepada Imam Muhammad Baqir as. tentang sikap tidak sabar.” Imam kemudian menjawab, “Derajat tertinggi dari ketidaksabaran itu adalah berteriak sambil berkata woi, memukul wajah, dada dan mencabut rambut yang ada di depan kepala. Siapa saja yang menyelenggarakan acara untuk membacakan nyanyian berkabung berarti ia telah kehilangan kesabarannya dan tidak tergolong orang yang sabar.”

Dari hadis tersebut kita dapat mengatakan, dalam pandangan syariat, qameh zani dan perbuatan yang serupa tidak dapat disebut bagian dari acara peringatan Asyura. Karena memukul wajah dengan tangan punya makna yang benar-benar berbeda dengan qameh zani.

3. Menghidupkan mazhab
Para pembela perilaku qameh zani mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan malah memperkokoh agama. Dengan perilaku ini mereka dapat mengajak orang lain untuk memeluk mazhab Syiah. Sayyid Hassan Shirazi malah menyerang mereka yang ingin menghapus syiar ini. Dalam bukunya Al-Sya’air Al-Huseiniyah Sayyid Hassan Shirazi berargumentasi, “Bila ada pembahasan mengenai perjuangan melawan hal-hal yang haram dan melindungi Islam, mengapa tidak berjuang melawan hal-hal haram yang lain? Bila ada pembahasan mengenai perjuangan dengan syiar-syiar semacam ini, mengapa tidak ada penentangan sejak hari pertama? Karena semua ini telah terjadi dan dilakukan bertahun-tahun sebelumnya, bahkan alasan diperbolehkannya qameh zani adalah ini.” Setelah itu Sayyid Hassan Shirazi lalu mengambil kesimpulan bahwa qameh zani itu hukumnya boleh dan tindakan yang mengikui Imam.

Kelemahan argumentasi ini sangat jelas. Karena argumentasi paling penting dalam pengharaman qameh zani kembali pada perilaku ini yang melemahkan Islam. Perilaku ini telah menunjukkan wajah buruk dan sadis Islam kepada non-muslim, bahkan kepasa sebagian umat Islam lainnya. Sekaitan dengan ini Allamah Sayyid Muhsin Amin mengatakan, “Bila diandaikan perbuatan itu merupakan bagian tak terpisahkan dari agama Islam, lalu apa pentingnya melaksanakan perbuatan seperti qameh zani, sementara hal itu menyebabkan noktah hitam bagi agama Islam dan pemeluknya. Perbuatan ini hanya akan membuat masyarakat benci dan muak dengan agama. Apakah ketakwaan dan keberhati-hatian tidak membuat orang tergerak hatinya untuk menghentikan perbuatan ini? Seandainya kita katakan qameh zani itu boleh sekalipun perbuatan ini harus kita tinggalkan. Ia bukan kewajiban agama dan bila ditinggalkan pun tidak merugikan agama.”

Imam Khomeini ra malah mengatakan, “Kalian ingin melakukan pekerjaan demi Allah. Sementara pekerjaan yang kalian lakukan malah merugikan Islam. Oleh karena itu lebih baik bila kalian tidak melakukannya. Contohnya adalah qameh zani yang menyebakan Islam lemah, namun tradisi Azadari sebisa mungkin kalian lakukan dengan agung.”

Terlepas dari tiga alasan di atas, sebagian dari mereka yang mengklaim dibolehkannya qameh zani mengatakan, “Kami melakukan perbuatan ini mengingat musibah yang menimpa Imam Husein as. Sedemikian hebatnya rasa sedih yang menghinggapi kami sehingga kami kehilangan kesadaran dan menjadi orang yang gila akan Imam Husein as.

Tentu saja pernyataan ini sangat menggelikan. Apakah posisi mereka ini lebih tinggi dari para Imam as? Bukankan para Imam begitu ketat dalam melaksanakan perintah Allah. Mereka sadar dengan segala perbuatan yang dilakukan. Bahkan Imam Husein as dalam buku Al-Luhuf pada malam Asyura berkata kepada Sayyidah Zainab as agar tidak merobek-robek kerah baju dan tidak berteriak. Orang-orang yang melakukan qameh zani seharusnya mengetahui bahwa peristiwa Asyura bukan kebangkitan yang ingin mendidik orang gila dan menyerahkannya ke tengah masyarakat. Kebangkitan Asyura punya tujuan agung dan mulia. Kebangkitan Imam Husein as mengajarkan kebebasan dan kemuliaan dalam menjalani kehidupan.

Argumentasi Keharaman Qameh Zani

1. Qameh Zani adalah bidah
Bidah sebagaimana diketahui memiliki dua makna; bahasa dan istilah. Dari sisi bahasa bidah berarti perbuatan baru, sementara dalam istilah bidah adalah menambahkan masalah atau hukum baru ke dalam agama seperti menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan sesuatu yang halal. Qameh zani sesungguhnya termasuk bidah baik dari sisi bahasa maupun istilah.

Dari sisi bahasa, setiap perbuatan baru yang belum terbukti apakah ia termasuk agama atau bukan, sementara dampaknya adalah melemahkan agama, maka dapat dipastikan melakukan perbuatan tersebut haram hukumnya. Qameh zani juga merupakan perbuatan baru yang tidak pernah dilakukan di masa awal Islam, bahkan di masa para Imam atau abad-abad yang masih berdekatan dengan masa hidup mereka. Sekaitan dengan masalah ini Syahid Muthahhari dalam buku Jazebah va Dafeah Ali as mengatakan, “Qameh zani dan mengangkat genderang dan terompet adalah budaya Kristen Ortodoks kawasan Kaukasus yang menyebar ke Iran. Dikarenakan jiwa masyarakat Iran siap menerima pengaruh ini, dengan cepat budaya ini menyebar di kalangan masyarakat Iran.” Yang lebih menarik lagi, menurut penuturan Syahid Muthahhari, “Melukai badan dengan silet, memukul badan dengan rantai, menabuh genderang dan meniup terompet sampai sekarang masih dilakukan oleh para pemeluk Kristen Ortodoks saat memperingati kematian Isa Al-Masih.”

Sementara dari sisi istilah, secara umum bila seseorang melakukan perbuatan yang tidak ada dalil mengenai wajib atau sunnahnya lalu melakukannya dengan keyakinan perbuatan itu wajib atau sunnah, maka perbuatan itu pasti haram hukumnya. Sekaitan dengan hal ini Imam Khomeini ra. dalam buku Ushul Fiqih-nya Anwar Al-Hidayah menulis, “Pensyariatan (tasyri’) artinya memasukan sesuatu yang bukan agama ke dalam agama. Ini sama dengan bidah.”

Mereka yang melakukan qameh zani dengan niat bahwa perbuatan ini adalah ibadah padahal perbuatan ini tidak ada hubungannya dengan agama sama sekali. Allamah Sayyid Muhsin Amin dalam buku At-Tanzih menulis, “Dosa terbesar ketika manusia melaksanakan perbuatan bidah dan menyebutnya perbuatan sunnah, atau perbuatan sunnah ditampakkan sebagai perbuatan bidah. Banyak hal yang dilarang dalam penyelenggaraan acara Asyura Imam Husein as. seperti; berbohong, menyiksa diri, teriakan wanita, teriakan brutal dan hal-hal yang dilakukan atas nama agama tapi menurunkan kehormatan agama.”

2. Citra buruk agama
Maksud dari ungkapan melemahkan agama yang dipakai oleh para ulama dalam mendedah asal-usul qameh zani punya arti ketika seseorang melaksanakan sebuah perbuatan dalam acara Asyura Imam Husein as. lalu orang lain melihatnya dan menuduh mazhab Syiah penyebar kekerasan, kebuasan dan khurafat. Dampak dari perbuatan ini tentu saja melemahkan agama dan membuat manusia menjauhinya. Ini merupakan dalil terpenting terkait haramnya perbuatan qameh zani dalam memperingati syahdah Imam Husein as. di hari Asyura.

Hingga saat ini banyak jaringan televisi dan media anti Islam di dunia yang berusaha memburuk-burukkan Islam dengan membuat laporan atau tayangan tentang qameh zani yang dilakukan di sebagian negara. Mereka ingin menunjukkan wajah Islam yang buas dan keras. Sebagian malah mereproduksi foto-foto lama untuk membuktikan betapa perilaku ini ada dan menjadi syiar mazhab Syiah. BBC pernah menayangkan liputan tentang qameh zani dengan judul “Pedang Islam”. Media-media ini begitu getol mencari apa saja yang bisa dipakai untuk melemahkan dan memperburuk citra Islam di dunia. Salah satunya adalah qameh zani ini.

Hal ini dengan tegas disampaikan oleh Ayatullah Al-Udzma Sayyid Ali Khamenei saat bertemu dengan masyarakat Mashad 12 tahun lalu. Beliau mengatakan, “Ketika Komunis menguasai Azerbaijan di masa Uni Soviet, mereka berusaha memusnahkan segala warisan Islam. Mereka menjadikan masjid sebagai gudang, sehingga tidak ada bekas mengenai Islam dan Syiah. Hanya satu hal yang mereka perbolehkan dan itu adalah qameh zani. Para petinggi Komunis memerintahkan anak buahnya agar tidak membiarkan orang-orang muslim melakukan shalat berjamaah atau membaca Al-Quran, tapi diperbolehkan melakukan qameh zani. Karena qameh zani bagi mereka adalah alat propaganda anti agama dan Syiah.” [islammuhammadi/sl]

Tidak ada komentar: