Rabu, 05 November 2008

Sekitar Persoalan Wasiat


Rasulullah saw bersabda: “Wasiat adalah hak setiap muslim.” (Wasail 19: 259).
Imam Ali bin Abi Thalib (sa) berkata: “Wasiat adalah penyempurna kekurangan zakat.” (Al-Wasail 19: 259).

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Tidak ada seorangpun mayit kecuali saat menjelang kematiannya Allah mengembalikan penglihatannya, pendengaran dan akalnya untuk menyampaikan wasiat: Berwasiat atau tidak. Wasiat adalah kedamaian dalam kematian. Wasiat adalah hak setiap muslim.” (At-Tahdzib 9: 173)

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Barangsiapa yang tidak berwasiat kepada keluarganya yang bukan ahli waris saat menjelang kematiannya, maka ia telah menutup ajalnya dengan kemaksiatan.” (Al-Wasail 19: 263).

Wasiat tidak boleh menzalimi ahli waris
Imam Ali bin Abi Thalib (sa) berkata: “Barangsiapa yang berwasiat dan ia tidak menzalimi dan tidak menyengsarakan (ahli waris), maka ia seperti bersedekah di masa hidupnya.” (At-Tahdzib 9: 175).

Dianjurkan berwasiat yang baik
Rasulullah saw bersabda kepada Ali (sa): Wahai Ali, barangsiapa yang tidak baik wasiatnya saat menjelang kematiannya, maka ia tidak sempurna kepribadiannya, dan tidak mendapat syafaat.” (Al-Wasail 19: 266; Al-Faqih 4: 254)

Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata: “Ali bin Abi Thalib (sa) membuat ketetapan hukum bagi orang yang meninggal dan mewasiatkan semua hartanya atau lebih dari ketentuan: wasiat dikembalikan pada kebaikan. Barangsiapa yang menzalimi dirinya dan berwasiat dengan wasiat yang mungkar dan zalim, maka wasiatnya dikembalikan pada yang makruf, dan dikembalikan pada ahli warisnya…” (Al-Wasail 19: 267).

Imam Ali bin Abi Thalib (sa) berkata: “Berbuat zalim dalam wasiat adalah bagian dari dosa besar.” (Al-Faqih 4: 134; Al-Wasail 267).

Tidak boleh berwasiat lebih dari sepertiga
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Pada saat menjelang kematiannya Barra’ bin Ma’rur Al-Anshari berada di Madinah sedangkan Nabi saw berada di Mekkah. Beliau bersama kaum muslimin melakukan shalat menghadap ke Baitul Maqdis. Barra’ bin Ma’rur berwasiat agar dikuburkan dengan menghadapkan wajahnya ke kiblat Nabi saw, dan ia mewasiatkan sepertiga hartanya. Imam Ja’far (sa) berkata: “itu sesuai dengan sunnah.” (Ilal Asy-Syarai’: 567; Al-Wasail 19: 171).

Abu Bashir berkata: Aku pernah bertanya kepada Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) tentang seseorang yang meninggal: Apa yang harus dilakukan dalam wasiat tentang hartanya? Beliau menjawab: “Sepertiga dari hartanya, juga wasiat terhadap istrinya.” (Al-Wasail 19: 171).

Wasiat orang yang tidak punya ahli waris
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) pernah ditanyai tentang seseorang yang meninggal dan tidak punya ahli waris dan ‘ashabah? Beliau menjawab: “Ia boleh mewasiatkan hartanya sesuai dengan keinginannya untuk kaum muslimin, orang-orang miskin dan musafir.” (Al-Istibshar 4: 121)

Anak wajib menerima wasiat orang tuanya
Ali bin Rayyan pernah menulis surat kepada Imam Musa Al-Kazhim (sa) tentang seseorang yang dimintai oleh ayahnya untuk menerima wasiatnya: Apakah ia boleh menolak wasiatnya? beliau menjawab: “Tidak ada alasan baginya untuk menolak.” Al-Kafi 7: 7; Al-Wasail 19: 322).

Ahli waris boleh menerima wasiat
Muhammad bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) tentang wasiat untuk ahli waris? Beliau menjawab: “Boleh.” Kemudian beliau membacakan firman Allah SWT.: “Jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk kedua orang tuanya dan kerabatnya secara ma’ruf (baik dan adil) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 180). (Al-Wasail 19: 287)

Boleh mengubah wasiat jika tidak benar
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Jika seseorang berwasiat dengan suatu wasiat, orang yang pemegang wasiat tidak boleh merubah wasiatnya bahkan ia harus menjaganya, kecuali jika wasiat itu menyalahi perintah Allah sehingga terjadi kemaksiatan dan kezaliman dalam wasiatnya, maka seorang pemegang wasiat boleh mengembalikan pada kebenaran; misalnya orang yang punya ahli waris, sebagian diserahkan padanya dan sebagian lagi ditahan. Allah swt berfirman: “Barangsiapa yang khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku tidak adil atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidak ada dosa baginya.” (Al-Baqarah: 182). (Tafsir Al-Qumi 1: 65; Al-Wasail 19: 350)

Wasiat yang mengeluarkan anak dari sebagai ahli waris
Sai’d bin Sa’d berkata: Aku bertanya kepada Imam Ali Ar-Ridha (sa) tentang orang yang tidak mengakui anaknya dan mengeluarkannya dari ahli waris, sementara aku pemegang wasiatnya, bagaimana aku harus berbuat? Beliau menjawab: “Ia tetap sebagai anaknya sesuai dengan pengakuannya dan dengan kesaksian; pemegang wasiat tidak boleh menolak sesuatu yang telah diketahui.” (Al-Faqih 4: 163; Al-Wasail 19: 424).

Wasiat dan isteri
Zurarah berkata: Aku bertanya kepada Imam Muhammad Al-Baqir (sa) tentang seseorang yang bepergian dan meninggalkan nafkah baginya untuk enam bulan atau seterusnya, kemudian ia meninggal setelah satu bulan atau dua bulan? Beliau menjawab: “Sisanya harus dikembalikan ke dalam harta waris.” (Al-Wasail 19: 434; Al-Tahdzib 9: 237).

Doa yang diajarkan oleh Nabi saw sebelum berwasiat
Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang tidak baik wasiatnya menjelang kematiannya itu menunjukkan bahwa kepribadian dan akalnya tidak sempurna.” Sahabat bertanya: Bagaimana cara calon mayyit berwasiat? Rasul menjawab: “Jika kematiannya hampir tiba dan manusia sudah berkumpul di sekitarnya, maka ucapkan:

Allâhumma fâthiras samâwâti wal-ardhi ‘âlimal ghaybi wasy-syahâti Ar-Rahmânir Rahîm. Allâhumma innî a’budu ilayka fî dârid duny-â, innî asyahadu allâ ilâha illâ Anta wahdaka lâ syarîka laka, wa anna Muhammadan ‘abduka wa rasûluka, wa annal jannata haqqun, wa annan râra haqqun, wa annal bai’tsa haqqun wal-hisâba haqqun, wal-qadara haqqun wal-mizâna haqqun, wa annad dîna kamâ washafta, wa annal Islâma kama syara’ta, wa annal qawla kama hadatsta, wa annal qur’âna kamâ anzalta, wa annaka Antallâhu Al-Haqqul Mubîn, jazallâhu Muhammadan khayral jazâi, ya Waliyya ni’matî. Ilâhi wa ilâha âbâi lâ takilnî illâ nafsî tharfata ‘aynî anbadan, fainnaka in takilnî ilâ nafssî aqrabu minasy syarri wa ab’ada minal khayri, fa anis fî qabrî wahsyatî, waj’allî ‘ahdân yawna alqâka mansyûrâ.

Ya Allah, wahai Yang Menciptakan langit dan bumi, Yang Mengetahui keghaiban dan kesaksian, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ya Allah, aku berjanji kepada-Mu di dunia, aku bersaksi: tiada Tuhan kecuali Engkau Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Mu, Muhammad adalah hamba-Mu dan Rasul-Mu, surga itu benar, neraka itu benar, hari kiamat itu benar, perhitungan amal itu benar, takdir dan mizan amal itu benar, agama adalah sebagaimana yang Kau sifati, Islam sebagaimana yang Kau syariatkan, firman-Mu sebagaimana yang Engkau jelaskan, Al-Qur’an sebagaimana yang Engkau turunkan, dan Engkau adalah Allah Yang Maha Benar dan Maha Jelas. Allah yang membalas Muhammad dengan pembalasan yang terbaik, yang menghidupkan Muhammad dan keluarga Muhammad dengan keselamatan. Ya Allah, wahai Pelindungku dalam dukaku, Sahabatku dalam deritaku, wahai Kekasihku dalam nikmatku. Tuhanku, Tuhan bapak-bapakku, janganlah Kau biarkan aku sendirian walau sekejap matapun selamanya. Jika Engkau biarkan aku sendirian, tentu aku akan mendekat pada keburukan dan menjauh dari kebaikan. Hiburlah kesepianku di kuburku, dan jadikan bagiku perjanjian pada saat berjumpa dengan-Mu di hari kiamat.”

Kemudian sampaikan wasiat sesuai dengan hajatnya. Wasiat ini sesuai dengan firman Allah swt ketika bercerita tentang Siti Maryam: “Mereka tidak berhak mendapat syafaat kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pengasih.” (Maryam: 87). Inilah perjanjian seorang mayit, dan wasiatnya adalah hak bagi setiap muslim untuk menjaga dan melaksanakannya. Imam Ali bin Abi Thalib (sa) berkata: “Wasiat ini diajarkan oleh Rasulullah saw kepadaku, dan Rasulullah saw bersabda: “Jibril (as) mengajarkan wasiat ini kepadaku.” (Al-Wasail 19: 260-261).

Tidak ada komentar: