Senin, 13 Juli 2009

Zakat Profesi Dua Puluh Persen Dan Kerancuan Ushul Fiqih


ZAKAT PROFESI: DUAPULUH PERSEN? [1]

Menurut Emha Ainun Nadjib, Dr. Amien Rais pernah dituduh “kafir” karena menetapkan zakat profesi (Gala, 19 April1990). Sebenarnya dia “dikafirkan” bukan karena zakat profesi‑nya, tetapi karena dia menetapkan duapuluh persen. [2] Buktinya, di seantero tanah air, para ilmuwan fiqih Majelis Ulama Indonesia membahas zakat profesi. Kita merasakan ada yang tidak adil dalam konsep zakat yang kita miliki. Petani, yang memperoleh penghasilan 1.000 kg beras setahun, wajib mengeluarkan zakat 10 persen dari hasil itu. Jika kita konversikan dengan uang, petani harus mengeluarkan Rp 60.000,- dari penghasilan tahunannya yang Rp 600.000,- Bagilah itu menjadi 12 bulan. la akan memperoleh rata-rata Rp 50.000,- sebulan (konversikan saja dengan harga beras sekarang, harga tersebut adalah harga ketika artikel ini ditulis). Kata ilmuwan fiqih, petani itu wajib mengeluarkan zakatnya rata-rata Rp 5.000,- setiap bulan.

Berapa zakat untuk dokter spesialis? Bila sehari ia menerima rata-rata sepuluh orang pasien, katakanlah ia memperoleh Rp 150.000,- Sebulan ia mendapat kira-kira tiga juta rupiah — 60 kali penghasilan petani itu. Petani wajib mengeluarkan Rp 5.000,- —sepuluh persen dari pendapatannya-. Dokter, menurut sebagian ilmuwan fiqih, tidak wajib zakat. Menurut Kitab Al-Fiqih ‘ala Al-Madzhahib Al-Arba`ah 1:596, (Jilid 1, halaman 596), harta yang wajib dikeluarkan zakatnya itu ada empat macam: ternak, emas dan perak, perdagangan, barang tambang dan rikaz, dan pertanian. “La zakata fi ma ada hadzihil khamsah” (Tidak ada zakat di luar yang lima ini),” kata Abdurrahman Al­jazairi, penulis kitab itu.

Berdasarkan kitab yang mu’tabar ini, pernah sekelompok ulama tidak berani mewajibkan zakat atas penghasilan dokter. Dokter hanya diwajibkan infak saja. Bersama dokter, dibebaskan juga dari kewajiban zakat semua pekerjaan di luar yang lima itu: pegawai negeri, ABRI, konsultan, pemilik media-massa, pengusaha jasa angkutan, penulis buku, kontraktor, psikolog, dan ratusan profesi lainnya, termasuk para pialang saham. Padahal penghasilan mereka ini jauh di atas penghasilan petani.

Jangan-jangan, kata kawan saya aktivis LSM, fiqih kita ini merupakan fiqih kapitalis. Atau dengan gaya bahasa aktivis Muslim kontemporer, jangan-jangan ini fiqihnya kaum mustakbarin untuk melestarikan penindasan. Ada yang menggugat lebih jauh. Bukan lagi fiqih yang digugat, tetapi Islam. Kata kawan ini (lebih repot kalau kawan itu pejabat tinggi), banyak ayat Al-Quran sudah tidak relevan lagi. Apalagi sunnah Nabi. Peraturan zakat itu hanya sesuai dengan perkembangan ekonomi di zaman Nabi, khususnya dalam masyarakat agrikultural. Peternakan, pertanian, perdagangan, emas dan perak, pertambangan dan harta temuan, adalah sektor-sektor ekonomi tempo doeloe! Sekarang kita berada pada era industri —bahkan era informasi. Pada era informasi, lebih dari 60 persen kegiatan ekonomi berada dalam sektor pengelolaan informasi. Pekerjaan informasi tidak ada zakatnya sama sekali. Bukankah ini berarti Islam bukanlah agama untuk zaman modern?

Astaghfirullah, begitu jerit kawan saya yang lain. Itu tidak mungkin. Islam mengandung aturan yang lengkap dan universal. Dr. Amien Rais, dengan ijtihadnya, menemukan ketentuan 20 persen itu. Orang-orang mengerubuti Dr. Amien Rais dengan sejumlah pertanyaan: dalilnya apa, ayat atau hadisnya mana, metode istinbath-nya bagaimana? Konon Amien Rais menjawab pendek: “Saya bukan ahli fiqih.” Emha Ainun Nadjib, yang jebolan Pesantren Gontor, memberikan penjelasan: “Di atas hukum formal ada moralitas, di atas moralitas ada cinta. Di atas fiqih ada akhlaq, di atas akhlaq ada taqwa dan tawakal dan hubb.” Menurut fiqih, kita cukup membayar zakat dua setengah persen; menurut cinta mungkin kita harus membayar bahkan 100 persen. Tentu saja ahli fiqih tidak akan menerima argumentasi Emha Ainun Nadjib. Soalnya, tidak ada kaidah cinta dalam ushul fiqh.

Kemelut zakat profesi ini sebetulnya dapat dilacak pada satu penyebab saja: kerancuan ushul fiqh. Bukan fiqih kita yang kapi­talistis, bukan pula Islam tidak sempurna, tetapi ushul fiqh-lah yang harus diluruskan. Tidak mungkin kita menguraikan kerancu­an ushul fiqh dalam tulisan yang singkat dan sederhana ini. Dengan risiko mengundang kesalahpahaman, saya akan menunjukkan kerancuan ini dengan mengambil kasus zakat profesi.

Kerancuan Ushul Fiqh

Berdasarkan hadis Mu’adz yang terkenal, ada tiga tahap penetapan hukum dalam Islam. Tetapkanlah dalam Al-Quran, jika ada aturannya di sana. jika tidak ada, cari dalam Al-Sunnah. jika tidak ada di dalam kedua-duanya, gunakanlah ra’yu (pendapat). jadi, untuk kasus-kasus baru yang tidak ada rujukannya di dalam Al-Quran dan AI-Sunnah, kita boleh mengemukakan pendapat sen­diri. Untuk itu, tidak diperlukan dalil naqliy (karena dianggap tidak ada).

Bila konsisten pada aksioma ini, kita harus mengasumsikan dua hal. Pertama, ada kasus-kasus yang tidak dapat dijawab oleh Al-Quran dan Al-Sunnah. Ini berarti sumber syariat itu tidak lengkap, tidak universal, dan tidak selalu relevan. Kedua, ijtihad adalah proses penetapan hukum yang murni rasional, sama sekali tidak relevansional (berdasarkan wahyu). Sehingga tidak heran kalau ada ulama yang menetapkan tiga sumber hukum Islam: Al-­Quran, Al-Sunnah, dan ijtihad.

Asumsi pertama —Al-Quran dan Al-Sunnah— tidak lengkap tentu sangat sukar diterima. Banyak dalil yang menjelaskan bahwa agama ini sudah sempurna, dan Al-Quran dapat menjadi penjelasan untuk segala persoalan (tibyanan likulli syai). Asumsi kedua juga sukar dibenarkan. Bila mujtahid dapat menetapkan syariat dengan nalarnya, is sudah menyaingi Allah dan Rasul-Nya. la telah menjadi syar`iy.

Berangkat dari kemelut ini, para ulama — antara lain — menghasilkan kesimpulan (yang masih tetap rancu). Yaitu, mereka membagi hukum Islam dalam dua bagian besar: urusan lbadat, dan urusan adat (keduniaan). Berdasarkan hadis Nabi yang populer “Antum a’lamu bi umuri dunyakum (kamu lebih tahu urusan duniamu),” terjadilah pemisahan pendekatan di antara keduanya. Dalam urusan ibadat, kita tidak boleh menggunakan nalar. Tidak ada ijtihad di situ. Bila tidak ada dalam Al-Quran dan Al-Sunnah: basy’ (ya, sudah)! jangan lakukan. Dibuatlah kaidah: Apa pun (yang ditambah-tambah) dalam ibadat hukumnya haram, jika tidak ada dalil yang memerintahkan (dalam Al-Quran dan Al-­Sunnah). Karena zakat itu termasuk urusan ibadat, maka tidak boleh melakukan sesuatu yang tidak ada dalilnya. Zakat profesi tidak diatur dalam syariat; karena itu, tidak wajib.

Kaum modernis — seperti Persis, Muhammadiyah — berpen­dapat tidak ada qiyas dalam urusan ibadat. Qiyas adalah proses penggunaan ra’yu, dan ra’yu tidak dibenarkan dalam urusan ibadat. Anehnya, ulama Persis dan Muhammadiyah — seperti ditunjukkan dalam salah satu diskusi di Pusat Pengkajian Islam —UNISBA — menggunakan qiyas untuk zakat profesi. Mereka lupa dengan kritik Ibnu Hazm — yang juga digunakan oleh Ibnu Taymiyah — terhadap qiyas dalam penetapan hukum syariat.

Karena tidak ada dalil yang tegas tentang zakat profesi (yang sekarang disebut al-malul mustafad), maka mereka menggunakan qiyas (analogi). Dengan melihat ‘illat (sebab hukum) yang sama, mereka meng-qiyas-kan zakat profesi dengan aturan zakat yang sudah ada. Yang musykil — seperti lazimnya bila kita mengguna­kan qiyas — adalah ketidakjelasan tentang harus di-qiyas-kan ke mana?.

Syaikh Muhammad Al-Ghazali meng-qiyas-kan zakat profesi dengan zakat pertanian. Di sini berlaku nishab (batas minimal wajib zakat), tetapi tidak berlaku hawl (masa satu tahun pemilik­an). Zakat profesi, seperti zakat pertanian, dikeluarkan kapan saja kita memperoleh penghasilan (”keluarkan zakatnya pada saat menuainya”). Nishab zakat pertanian adalah 653 kg. Bila yang dijadikan ukuran beras, maka nishab-nya — setelah dikonversikan — menjadi 653 x Rp 600,- = Rp 391.000,- (itu harga beras waktu dulu, konversikan saja dengan harga sekarang) jika Anda mem­peroleh penghasilan sejumlah itu, Anda harus mengeluarkan zakat­nya. Berapa? Ini kemusykilan qiyas dalam pertanian. Bila pertani­an itu menggunakan irigasi, maka Anda mengeluarkan lima persen. Bila pertanian itu mengambil air langsung dari langit, maka Anda keluarkan 10 persen. jadi, perkirakanlah apakah profesi Anda itu seperti sawah yang diairi irigasi atau air hujan (konglomerat, tampaknya, kebanyakan mengambil air dari langit!).

Karena kemusykilan ini, ulama yang lain memilih meng-qiyas­kannya dengan emas dan perak. Menurut sebagian ulama (dan ini pun masih diperdebatkan), di sini berlaku nishab dan hawl. Bila di-qiyas-kan dengan emas, maka nishab-nya itu 85 gram (± Rp 1.700.000,-) (lagi-lagi ini harga emas waktu itu). Bila di-qiyas-kan dengan perak, maka jumlah nisbahnya 653 gram (kurang lebih Rp 326.000,-). Karena ada hawl, maka jumlah nishab itu haruslah setelah penghasilan Anda dijumlahkan selama satu tahun. Bila gaji Anda setahun sama dengan atau lebih dari Rp 1.700.000,- (di-qiyas-kan dengan emas), keluarkanlah dua setengah persennya. Kemusykilannya —seperti telah disebutkan — terletak pada standar yang mau kita ambil: emas atau perak. Tidak ada kepastian hukum. Yang dirasa­kan berat adalah bila di-qiyas-kan dengan perak, maka penghasilan Anda sebulan sebesar Rp 30.000,00 saja harus dizakati.

Sebagian ulama ada yang meng-qiyas-kan zakat profesi ini dengan zakat perdagangan (tijarah). Dalam zakat perdagangan masih diperdebatkan apakah ada nishab dan hawl. Menurut Ustad Abdurrahman dari UNISBA, zakat perdagangan tidak mengenal nishab. Begitu pula hadis-hadis tentang hawl semuanya dhaif. Walaupun begitu, Abdurrahman berpendapat (aneh!), “Namun karena ibadat zakat itu tidak semata-mata `ibadah, tetapi ibadat yang erat kaitannya dengan ekonomi keuangan dan kemasyarakat­an, maka apabila terlihat kemaslahatannya dan dapat memudah­kan untuk menentukan nishab dan kadar zakat, dapat saja kita menggunakan hawl . . .”

Tampak bahwa meng-qiyas-kan zakat profesi kepada pertani­an, emas dan perak, serta perdagangan sangat musykil. Memilih satu di antaranya hanya menjadi selera seorang pemilih. Tidak ada keterangan terkuat. Semuanya lemah. Boleh jadi orang meng-­qiyas-kannya dengan zakat peternakan atau zakat rikaz (barang temuan). Kalau boleh di-qiyas-kan dengan pertanian, mengapa tidak boleh di-qiyas-kan kepada rikaz?
Umumnya mereka ber-istidlal kepada surah Al-Bagarah ayat 267, “Infakkanlah sebagian yang baik-baik dari hasil usahamu dan hasil-hasil yang Kami keluarkan dari bumi . . Di sini kewajiban infak dari hasil usaha direndengkan dengan infak dari basil-hasil “yang Kami keluarkan dari bumi”. Apa yang “Kami kelurkan dari bumi”? Emas dan perak, pertanian, juga barang tambang dan barang temuan. jika di-qiyas-kan dengan yang, pertama, zakat profesi Anda menjadi dua setengah persen; dan dengan yang kedua menjadi 10 persen; dengan yang ketiga menjadi 20 persen. Walhasil, ayat Al-Baqarah 267 tidak dapat menyelesaikan kemusykilan.

Adakah jalan keluar? Apakah tanpa qiyas dan tanpa asumsi, syariat menjadi tidak lengkap? Tulisan ini secara singkat akan me­nunjukkannya. Karena singkat, perincian keterangan tambahan tidak disertakan. Tulisan ini lebih dimaksudkan untuk mengun­dang diskusi ketimbang memberikan instruksi.

Meluruskan Ushul Fiqh

Marilah kita lihat lagi konsep ijtihad. Ijtihad haruslah diarti­kan sebagai konsep menetapkan keputusan dengan menggali dalil-dalilnya dari Al-Quran dan Al-Sunnah. jadi, sumber hukum Islam hanya yang dua itu. Kita percaya setiap kasus baru pasti ditunjuk­kan jawabannya dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. Bila betul-betul kasus itu tidak terjawab oleh kedua sumber itu, maka kita ber­pegang pada kaidah al-bara’atul ashliyyah. Pada pokoknya bila Allah tidak menyebutkan atau memberikan petunjuk-Nya yang jelas, maka kita jangan mengasumsikan bahwa Allah lupa; tetapi Dia ingin memberikan keleluasaan kepada manusia.

Marilah kita kembali ke zakat profesional. Adakah dalil di dalam Al-Quran atau Al-Sunnah tentang zakat profesional tanpa menggunakan qiyas? jawabannya: ada, yaitu surah Al-Anfal ayat 41. Biasanya ayat ini diterjemahkan sebagai berikut: Dan hendak­lah kamu ketahui bahwa apa-apa yang dapat kamu rampas dalam peperangan, sesungguhnya separuhnya untuk Allah, untuk Rasul, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Kalimat dengan huruf tegak ini sebenarnya terjemahan (yang setengah benar) dari kata annama ghanimtum min syai.

Apa arti ghanimtum? Ghanimtum berasal dari kata ghanimah. Dalam Al-Quran kata ghanimtum disebut sebanyak dua kali dan maghanim (bentuk jamak dari maghnam) disebut sebanyak empat kali. Ghanimah tidak selalu berarti rampasan perang. Ghanimah, dapat juga berarti pahala atau keuntungan. misalnya, “. . . padahal di sisi Allah adalah keuntungan yang banyak (maghanim katsirah)” (QS 4:94). Begitu juga, dalam hadis-hadis. Surga disebut sebagai ghanimah majlis dzikr (Musnad Ahmad 2:330). Puasa disebut sebagai ghanimah orang beriman (Musnad Ahmad 2:177). Dalam doa shalat hajat yang terkenal, ada kalimat “aku memohon ghani­mah untuk segala kebajikan”. Ghanimah di situ artinya “keuntung­an lebih.”

Karena itu, kamus-kamus besar bahasa Arab mengartikan ghanimah bukan hanya rampasan perang, tetapi juga pahala, keuntungan lebih, atau kelebihan dari penghasilan. “Ghanimah adalah kelebihan harta yang diperoleh baik dari peperangan mau­pun bukan peperangan” (Lihat Al-Raghib dalam Al-Mufradat, Ibnu Faris dalam Muqayis, Al-Jauhari dalam Shahah Al-Lughah, dan Ibn Al-Atsir dalam Lisan Al-Arab).
Dengan demikian, surah Al-Anfal ayat 41 harus kita artikan, “Dan ketahuilah bahwa apa-apa yang kamu peroleh sebagai ke­lebihan penghasilan (keuntungan), yang seperlima adalah kepunya­an Allah Rasul, kerabat, . . . dan seterusnya. jadi, di samping zakat, di dalam Islam dikenal adanya perlimaan (khumus). Banyak keterangan dari Al-Sunnah bahwa Nabi memungut khumus di luar zakat untuk kelebihan penghasilan selain rampasan perang. Se­bagian di antaranya kita cantumkan berikut ini:

Pertama: Rombongan Bani Qays menemui Nabi saw. Mereka mengeluh tidak dapat menemui Nabi kecuali di bulan Haram. Mereka takut kepada kaum musyrik Mudhar. Nabi memerintahkan mereka untuk mengucapkan syahadat, menegakkan shalat, dan mengeluarkan seperlima dari kelebihan penghasilan mereka (Shahih Al-Bukhari 4:205; Shahih Muslim 1:35-36; Musnad Ahmad 3:318). Tidak mungkin mereka disuruh mengeluarkan seperlima dari rampasan perang, karena mereka justru selalu meng­hindari peperangan.

Kedua: Ketika Nabi saw. mengutus ‘Umar bin Hazm ke Yaman, Nabi menyuruhnya untuk mengumpulkan perlimaan di samping zakat (Futuh Al-Buldan 1:81; Sirah Ibnu Hisyam 4:265). Begitu pula ketika beliau menulis surat kepada kepala-kepala suku (Lihat: Tanwir Al-Hawalik; Syarh Al-Muwatha 1:157; Thabaqat Ibnu Saad 1:270, dan lain-lain). Kepada juhaynah bin Zaid, Nabi juga menyuruh, “Minumlah airnya dan keluarkan perlimaannya” (Al-Watsaiq Al-Siyasiyah, 142).

Seperti telah disebutkan di muka, kita mencukupkan saja keterangan-keterangan ini. Secara singkat, di luar zakat, ada kewajiban mengeluarkan perlimaan dari pekerjaan-pekerjaan yang tidak dikenai kewajiban zakat; pekerjaan-pekerjaan ini kita sebut sekarang sebagai profesi. Pandangan ini sebetulnya bukan hal yang baru. Di antara mazhab-mazhab dalam Islam, mazhab Ahlul-Bayt (mazhab Ja’fari) sudah lama menetapkan kewajiban perlimaan ini. Para fuqaha’ mereka menetapkan perlimaan dari (1) rampasan perang, (2) barang tambang, (3) barang temuan, (4) barang-barang lautan seperti mutiara, (5) barang yang bercampur antara halal dan haram, lalu tidak diketahui dengan pasti yang mana, dan (6) kelebihan pendapatan setelah dipotong oleh mu’nah.

Apa yang disebut mu’nah? Mu’nah adalah pengeluaran untuk kebutuhan pokok: sandang, pangan, dan pagan. Biasanya, di setiap negeri ada ukuran kebutuhan pokok. Para ahli ekonomi bahkan telah membuat rumus matematis untuk itu. Harus juga dimasukkan ke dalam mu’nah pengeluaran kita untuk menolong keluarga yang menjadi tanggungan kita.

Contoh Praktis
Anda seorang dokter, mendapat penghasilan Rp 3.000.000,- satu bulan. Keluarkanlah dari penghasilan itu untuk sewa tempat praktek, membayar gaji pegawai, membayar obat-obatan dan listrik, membayar biaya transport, juga membayar kebutuhan pokok dan orang-orang yang menjadi tanggungan Anda. Katakan­lah, Anda menghabiskan satu juta setengah untuk segala pengeluar­an itu. Ini disebut mu’nah., Kemudian Anda harus mengeluarkan seperlima dari sisanya. Dipotong mu’nah, penghasilan Anda tinggal satu juta setengah lagi. Keluarkanlah seperlimanya; yaitu sejumlah Rp 300.000,- satu bulan.

Anda seorang dosen dengan pangkat III/d. jika gaji Anda sebesar Rp 350.000,- dipandang cukup untuk membayar kebutuhan pokok Anda sekeluarga, maka Anda tidak membayar perlimaan. Kemudian Anda menulis buku, Anda mendapat royalty sebesar dua juta. Bayarkanlah sebagian royalty itu untuk ongkos tukang tik, beli kertas, dan hubungan dengan penerbit. Setelah dipotong pengeluaran itu, Anda memperoleh hasil bersih satu setengah juta rupiah. Keluarkan Rp 300.000,- Begitulah seterus­nya.

Penutup
Jadi Dr. Amien Rais tidak “kafir” ketika menetapkan. zakat profesi sebesar 20 persen. Dia sekaligus menunjukkan arah untuk memperbaiki konsep-konsep dasar kita dalam ushul fiqh. Selama ini, kita dipenuhi oleh inkonsistensi berpikir dalam memutuskan zakat profesi. Kita menganggap profesi baru itu tidak diatur dalam syariat, tetapi kita. tidak mau menerima asumsi bahwa syariat tidak sempurna. Kita melarang qiyas dalam urusan ibadat, tetapi kita mempraktekkannya dalam zakat.

Akhirnya, perlimaan bukan saja menyelesaikan kemusykilan fiqih tetapi juga menegakkan keadilan Islam. Sekarang tidak satu pun profesi yang dapat lolos dari kewajiban menyantuni kaum mustadh’afin. Para konsultan, penjual jasa, konglomerat, keluar­kanlah 20 persen dari penghasilan lebihmu! Allah akan mem­berkati hartamu dan keluargamu.

_______________

[1] Artikel di atas ditulis oleh KH. Jalaluddin Rakhmat dalam buku karyanya “Islam Aktual”, hal: 145-153
[2] Pendapat Dr. Amien Rais tentang zakat 20 persen, dapat dibaca secara lengkap dalam buku-karyanya, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. (Mizan, Bandung. 1988).


Sumber : http://kajianislam.wordpress.com/2008/04/23/zakat-profesi-dua-puluh-persen-dan-kerancuan-ushul-fiqih/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar