Jumat, 10 April 2009

Mengenai Wilayat Al-Faqih

Soal: Apakah keyakinan terhadap prinsip wilayat al-faqih, baik dari sisi konseptual maupun aktual, merupakan masalah rasional (aqli) ataukah masalah tekstual (syar’i)?
Jawab: Sesungguhnya wilayat al-faqih yang berarti kekuasaan seorang faqih yang adil dan mumpuni (handal) dalam masalah agama adalah masalah syar’i ta’abudi yang didukung oleh akal.

Soal: Apakah hukum syariat itu bisa berubah dan invalid (tidak berlaku) jika wali al-faqih memberikan keputusan yang bertentangan dengan (hukum syariat) karena tuntutan kemaslahatan umum Islam dan kaum Muslimin ?
Jawab: Tergantung situasi yang beragam.

Soal: Apakah orang yang tidak meyakini wilayat al-faqih yang mutlak dianggap Muslim ?
Jawab: Tidak meyakini wilayat al-faqih yang mutlak karena hasil ijtihad ataupun karena taqlid, pada masa ghaibnya Imam Al-Mahdi (nyawa kami adalah tebusannya), tidak menyebabkan murtad dan keluar dari Islam.

Soal: Apakah wali al-faqih memiliki wilayah takwiniyyah yang dengannya dia dapat menghapus hukum-hukum agama karena adanya maslahat umum ?
Jawab: Sepeninggal Rasulullah Saww tidak boleh menghapus hukum-hukum syariat Islam. Adapun perubahan obyek hukum atau adanya darurat ataupun adanya kendala yang temporer untuk melaksanakan hukum, maka itu bukan penghapusan hukum. Wilayah takwiniyyah, menurut pendapat yang meyakininya, khusus untuk Para Ma’shumin as.

Soal: Apa sikap kita terhadap orang-orang yang tidak meyakini otoritas seorang faqih yang adil kecuali dalam urusan-urusan yang hasbiyah * saja ? Perlu diketahui bahwa wakil-wakil mereka menyebarkan hal itu.
Jawab: Otoritas (Wilayah) faqih dalam memimpin masyarakat dan mengatur urusan-urusan sosial di setiap zaman merupakan rukun mazhab Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah. Masalah ini mempunyai akar dalam prinsip Imamah. Jika seseorang mempunyai dalil untuk tidak meyakininya, maka dia ma’dzur (beralasan), tetapi dia tidak boleh menyebarkan perpecahan dan perselisihan.

*) Urusan-urusan Hasbiyah adalah urusan-urusan kifayah yang harus dijalankan dan memerlukan izin hakim (penguasa) syar’i selain amar makruf nahi munkar (Al-Ishtilahat fi Rasail ‘Amaliyyah, hal.42).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar