Senin, 28 Desember 2009

Menangis: Budaya Penghuni Surga

Rasulullah saaw bersada, “Tangisan adalah rahmat Allah bagi manusia.” Beliau juga bersabda,“Wahai Aba Dzar! Barangsiapa yang dapat menangis, maka hendaklah ia menangis. Dan barangsiapa yang tidak mampu melakukannya, maka hendaknya ia menyedihkan hatinya dan berlaku seperti orang yang sedang menangis; karena hati yang keras itu jauh dari Allah, namun masih banyak orang yang tidak menyadarinya.”



Tangisan merupakan suatu reaksi ungkapan atau luapan isi hati dan sebagai pesan bagi dunia luar atau sekitar. Seorang penyair Persia, Muhtasyame kasyani, berkata, “Janganlah engkau memandang hina airmataku, karena ia merupakan sari darah hatiku.”

Tangisan dan setiap tetesnya memiliki sebab, makna dan tujuan yang berbeda-beda, sehingga memiliki dampak dan kesan yang berbeda-beda pula pada diri pelaku maupun dunia sekitarnya. Demikian pula bila ditinjau dari sisi hukum maka tangisan merupakan suatu perbuatan yang mubah (boleh dilakukan ataupun ditinggalkan dan tiada pahala maupun dosa didalamnya), namun, situasi dan kondisi serta sebab dan tujuan yang berbeda-beda menjadikan tangisan dapat menjadi sesuatu yang diharamkan, makruh, sunnah maupun wajib (dalam peng artian sangat dianjurkan atau sunnah muakkad). Sebagai contoh:

Mubah, seperti tetasan airmata yang mengalir tanpa memiliki sebab dan tujuan yang bersifat ukhrawi dan tidak mengandung sebuah pelanggaran atau maksiat. Seperti halnya ketika mengupas bawang atau ketika menahan rasa sakit.

Haram, seperti tetesan air mata yang sengaja dialirkan untuk sesuatu yang bertentangan dengan asas keimanan dan akhlakulkarimah dan atau untuk memuluskan sesuatu yang diharamkan. Seperti halnya air mata buaya para saudara-saudara Nabi Yusuf dihadapan Ayah mereka, Nabi Ya’qub, sesaat setelah membuang Nabi Yusuf, atau ketika menangis untuk memproter dan merasa tidak rela dengan ketetapan Allah. Dikisahkan, ketika Ibrahim putra Rasulullah saaw wafat diusia 18 bulan atau 22 bulan, Beliau memangkunya seraya menagisi kepergiannya. Lalu seseorang menprotesnya dengan berkata, “Wahai Rasulillah! Engkau melarang kami menangis, tetapi sekarang aku menyaksikanmu menangis?” Beliau menjawab, “Ini bukan suatu tangisan (yang terjadi karena tidak sabar atau tidak menerima dengan ketentuan Allah), ini merupakan tangisan kasih sayang, dan barangsiapa yang tidak menyayangi maka ia tak akan disayangi.”

Makruh, seperti tetesan airmata yang mengalir untuk sesuatu yang tidak dikenal atau sesuatu yang tidak diketahui kelayakannya untuk ditangisi dan atau tangisan yang bisa merusak sesuatu yang telah pasti hukumnya. Seperti halnya ketika menangisi sesuatu yang bersifat duniawi disaat shalat, karena bila tangisannya mengeluarkan suara maka batallah shalatnya; atau seperti meneteskan airmata untuk jenazah yang tidak dikenal, apakah orang baik atau zalim.

Sunnah, seperti tetesan airmata yang sengaja dialirkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam doa, renungan maupun munajah, ataupun untuk menampakkan penyesalan atas dosa. Dan tentunya menangisi sesuatu yang diperintahkan maupun yang pernah ditangisi oleh para manusia suci alaihimussalam. “Para pecinta kami (para manusia suci) adalah bersukacita disaat kami bersukacita dan berduka disaat kami berduka.” (alhadis dari Imam Hasan Al’askari as)

Dan sunnah muakkad
, seperti tetesan airmata yang memang sengaja harus dialirkan untuk sesuatu yang besar, bernilai dan memiliki keafdhilahan yang tinggi disisi Allah swt. Seperti halnya ketika tangisan itu merupakan senjata atau media untuk berdakwah, seperti apa yang telah dilakukan oleh Imam Ali Zainal Abidin as dan sayidah Zainab putri Fatimah as guna membangkitkan semangat keislaman dan perjuangan melawan para penindas.

Sebelum meneruskan tulisan ini,selayaknya kita camkan sejelas mungkin bahwa tulisan ini tidak mengajak kita untuk menjalani hari-hari dengan airmata dan kesedihan, tetapi untuk menunjukkan besarnya peran airmata dalam menciptakan kepribadian suci pada jiwa seseorang. Prof. Jawadi Amuli berkata, “Dalam peperangan dengan musuh batin dimedan jihad akbar, senjata manusia adalah tangisan dan rintihan bukan tombak maupun pedang.” Seorang ahli hikmah, Faidh Kasyani berujar, “Bila engkau melihat cahaya di dahiku...Ketahuilah bahwa ia berasal dari cinta yang membara. Jika engkau menemukan dadaku bening dan bersih… Ketehuilah bahwa airmata telah mencucinya.”

Berikut ini beberapa kedudukan tangisan atau airmata dalam nash.

a. Sebagai lambang penyesalan akan dosa dan penyelamat dari murka Allah swt.
Allah swt berfirman, “Maka hendaklah mereka sedikit tertawa dan banyaklah menangis, sebagai ganti atas apa yang selalu mereka kerjakan.” (Qs. Attaubah, 82)

Ayat ini turun sebagai sindiran atas apa yang telah dilakukan oleh mereka yang meninggalkan kewajiban agama secara sadar, sengaja atau meremehkan dengan menciptakan alasan yang mengada-ada, dan mengajak orang lain untuk mengikutinya, bahkan merekapun terlihat menikmati, bangga maupun mengumbar tawa merendahkan kewajiban agama. Dimana selayaknya mereka menangis menyesali tindakannya, karena siksa yang teramat pedih sedang menanti mereka.

Allah swt berfirman, “Telah dekat terjadinya hari kiamat. Tiada yang akan menyatakan terjadinya hari itu selain Allah. Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?” (Qs. Annajm, 57-60)

Rasulullah saaw bersabda, “Menangis lantaran takut kepada Allah adalah keselamatan dari siksa neraka.” Imam Ali as berkata, “menangis karena takut kepada Allah akan membuat hati menjadi terang dan menghindarkan seseorang dari mengulangi dosanya.” Dan, “Betapa banyak kegembiraan sesaat yang berakibat pada kesedihan abadi.”

b. Sebagai tanda kaum arif sejati karena adanya penyesalan atas hilangnya kesempatan meraih fadhilah (keutamaan) dan pahala besar.

Allah swt berfirman, “Dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu membawa mereka (pergi berperang), lalu kamu berkata, ‘Aku tidak memiliki sesuatu untuk bisa membawa kalian’, lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran airmata kesedihan, lantaran mereka tidak memiliki sesuatu yang akan mereka belanjakan (sebagai bekal kemedan perang).” (Qs. Attaubah, 92) Merekapun menangis lantaran tak dapat meraih keutamaan yang besar dengan pergi berjihad bersama Rasulullah saaw.

c. Sebagai tanda mengenal hakikat kebenaran.
Allah swt berfirman, “Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan airmata disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui.” (Qs. Almaidah, 83)
Rasulullah saaw bersabda, “Wahai Aba Dzar! Barangsiapa diberi ilmu, sedang ilmu itu tidak dapat membuatnya menangis, maka dapat dipastikan bahwa ilmunya adalah ilmu yang tidak bermanfaat. Karena sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla telah mensifati orang-orang berilmu dalam firman-Nya, ‘…Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila Alqur’an dibacakan kepada mereka, maka mereka merobohkan dirinya sambil bersujud, dan mereka berkata, ‘Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.’ Dan menyungkurkan muka mereka sambil menangis dan hal ini (bacaan Alqur’an, senantiasa) menambah kehusyuan mereka.” (Qs. Alisra’, 107-109).

d. Sebagai karakteristik para hamba pilihan Allah swt.
Allah swt berfirman, “…Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Mahapemurah kepada mereka (para nabi, para manusia pilihan dan yang mendapat hidayah), maka mereka menyungkur sambil bersujud dan menangis.” (Qs. Maryam, 58)
Catatan sejarah banyak mengisahkan dimana Rasulullah saaw selalu menangis tersedu-sedu setiap kali Jibril turun membawakan firman Allah yang (khususnya) berkenaan dengan penciptaan dan siksaan, yang juga diikuti oleh Ahlulbait dan para sahabat setianya.
e. Memiliki kedudukan khusus disisi Allah swt, keutamaan dan manfaat yang sedikit manusia menyadarinya.

Ketika dikatakan kepada Nabi Ya’qub as, “Demi Allah! Engkau selalu mengingat Yusuf, hingga engkau menjadikan dirimu sakit dan binasah.” Beliau menjawab, “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahanku dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang kalian tidak mengetahuinya.” (Qs. Yusuf, 85-86)

Segala kesusahan dan kesedihan Nabi Ya’qub as atas Yusuf as, Beliau adukan (curhat-kan) kepada Allah swt melalui bahasa tetesan-tetesan airmata. Nabi Ya’qub selalu menangis setiap kali mengenang Yusuf, yang telah diketahuinya kelak akan menjadi seorang utusan Allah. Sebuah tangisan perpisahan yang terasa sangat berat segaligus merupakan tangisan kerinduan atas perjumpaan dengan kekasih Allah serta tangisan penyesalan karena hilangnya keutamaan untuk menyertai perjalanan berliku penuh ujian dan derita sang kekasih Allah, Yusuf as. Beliaupun tiada henti menangis karena mengetahui adanya keutamaan yang besar yang telah diberitakan oleh Allah kepadanya yang tidak diketahui oleh selainya.

Sedemikian seringnya menangis hingga matanya menjadi buta, bahkan dalam riwayat disebutkan, Allah menyembuhkan kebutaannya, namun Nabi Ya’qub tetap menangis hingga kembali buta, dan untuk kedua kalinya Allah menyembuhkan kebutaannya, namun sekali lagi Nabi Ya’qub menjadi buta karena tetap menangisi perpisahannya dengan Yusuf, hingga akhirnya Beliau mendapatkan gamis Yusuf yang telah menjadi penguasa Mesir saat itu, menciuminya dan menguspkannya ke kedua matanya hingga Allah swt mengembalikan penglihatannya (Qs. Yusuf, 93). Namun, yang sangat perlu di ingat disini adalah, Allah swt tetap meridhainya, karena tak ada satupun ayat yang menyalahkan (jenis) tangisannya dan atau yang melarang ummat untuk mengikutinya, bahkan Allah swt melihatnya sebagai sesuatu yang indah nan agung sehingga layak dicatat dengan tinta keagungan Alqur’an agar dikenang sepanjang zaman, “Kami (Allah) menceritakan kepadamu (Muhammad) sebaik-baiknya kisah.” Dan “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang berakal.” (Qs. Yusuf, 3 & 111)

Kedudukan tangisan dalam nash masih banyak lagi,namun kita cukupkan sampai disini, dan untuk mempermudah kita memahami bentuk tangisan surgawi, maka berikut ini :

Kisah teladan ini akan kita ambil dari riwayat Imam Ja’far Asshadiq as, yang mengatakan bahwa, Albakkaa’un (orang-orang yang dikenal paling sering menangis sepanjang sejarah) ada lima orang, yaitu: Adam as, Ya’kub as, Yusuf as, Fatimah binti Muhammad as, dan Ali bin Husain as.

Adam, sering menangis karena terusir dari surga, sebegitu lamanya beliau menangis (memohon ampun dan menyesali keteledorannya) hingga dikedua pipinya tercipta guratan-guratan yang menyerupai sungai-sungai kecil.

Ya’kub, sering menangis karena berpisah dengan Yusuf, sebegitu lamanya Beliau menangis hingga kedua matanya memutih dan tak dapat melihat lagi (buta). Sesungguhnya Allah swt membenci sesuatu yang melampaui batas, namun, Apa yang dilakukan Nabi Ya’qub bukanlah sesuatu yang berlebihan, karena Allah justru bangga dan mensifatinya sebagia manusia penuh kasih sayang dalam kesabaran, “Dan Ya’qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata, ‘Aduhai dukacitaku terhadap Yusuf.’ Dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan, dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).” (Qs. Yusuf, 84) Allah mensifatinya dengan ucapan “Fahuwa kadzim” yaitu lebih mulia dari “shabru”
Yusuf, juga sering menangis karena perpisahan dengan kekasih Allah, Nabi Ya’kub as. Tidak henti-hentinya Beliau menangis hingga para penghuni penjara terganggu oleh suara tangisannya. Mereka berkata kepada Yusuf, “Pilihlah waktu untuk tangisanmu!? Jika engkau menangis dimalam hari, maka berhentilah disiang hari, atau jika engkau menangis disiang hari, maka berhentilah dimalam hari.” Yusuf-pun menyetujui usulan mereka.

Fatimah as, sering menangis karena berpisah dengan Rasulullah saaw. Tidak henti-hentinya Beliau menangis merindukan perjumpaan dengan ayahnya sekaligus meratapi derita rumah kenabian. Anas bin Malik mengisahkan, “Ketika kami selesai memakamkan Nabi, aku datang ketempat Fatimah, lalu ia mengatakan, ‘Bagaimana kalian sanggup menimbun tanah di wajah Rasulullah!’ Kemudian ia menangis.” Imam Ali pun mengisahkan, “Aku mencuci gamis Nabi saaw, lalu Fatimah mengatakan, ‘Tunjukkan kepadaku gamis itu.’ Dan ketika ia menciuminya, ia pingsan. Sedari itu, aku menyembunyikan gamis tersebut.

Diriwayatkan pula, bahwa setelah Nabi saaw wafat, Bilal menolak untuk melakukan azan. Ia berkata, “Aku tidak mau melakukan azan untuk siapapun setelah Rasulullah tiada.” (namun) Suatu hari Fatimah berkata, “Aku ingin sekali mendengar suara muazzin ayahku, Bilal.” Kabar itu sampai ketelinga Bilal. Maka Bilal pun melakukan azan. Ketika Bilal menyuarakan “Allahu Akbar…Allahu Akbar”, Fatimah teringat kepada ayahnya dan hari-harinya ketika Beliau masih kecil, sehingga ia tak kuasa menahan tangis. Dan ketika Bilal sampai pada kalimat, “Asyhaduanna Muhammadar Rasulullah”, Fatimah merintih, lalu jatuh dan pingsan. Orang-orang pun berkata kepada Bilal, “Hentikan, wahai Bilal! Putri Rasulullah telah wafat.” Mereka menyangka Fatimah telah meningal. Bilal pun menghentikan azannya dan tidak menyelesaikannya. Kemudian Fatimah siuman dan meminta Bilal menyelesaikan azanya. Namun Bilal tidak melakukannya. Bilal berkata, “Wahai pemimpin para wanita! Aku takut sesuatu akan menimpamu, jika engkau mendengar suara azanku.” Fatimah pun memakluminya.

Demikianlah, Fatimah selalu menangis kapanpun dan dimanapun; disiang maupun malam hari. Rintihan dan tangisannya tak pernah berhenti hingga membuat gelisah para penduduk Madinah. Merekapun berkumpul dan menemui Ali seraya memohon, “Wahai Ali! Sesungguhnya Fatimah telah menangis disiang dan malam, sehingga tidak seorangpun diantara kami yang dapat tidur dengan tenang diwaktu malam maupun dapat melakukan pekerjaan dan mencari nafkah di waktu siang (karena setiap mendengar rintihannya mereka ikut bersedih dan meneteskan airmata, teringat kedudukannya disisi Rasulullah saaw). Kami mohon engkau memintanya untuk menangis di malam hari saja atau di siang hari saja.”

Ali pergi dan masuk menjumpai Fatimah, “Wahai Putri Rasulillah! Sesungguhnya para pemuka Madinah memintamu untuk menangis di waktu malam atau siang hari saja.” Maka Azzahra menjawab, “Wahai Ali! Alangkah singkatnya aku tinggal ditengah-tengah mereka dan tidak lama lagi aku pun akan menghilang dari hadapan mereka.”

Ali kemudian membangun sebuah rumah (semacam gubuk keci) untuk Fatimah di pemakaman Baqi’ yang terletak jauh dari tengah kota Madinah, dan diberi nama Baitul Khuzun (rumah duka). Jika waktu pagi dan sore datang, Fatimah membawa Hasan dan Husain ke pemakaman Baqi’ dengan menangis dan ia terus menangis diantara kuburan-kuburan disana.

Suatu ketika setelah wafat Rasulullah saaw, Mahmud bin Labid melewati pekuburan syuhada’ Uhud, dan ia melihat Fatimah sedang menangis dimakan Hamzah ra. Dia menunggu dengan sabar hingga Fatimah nampak tenang, lalu dia memberi salam dan berkata kepadanya, “Wahai Putri Rasulillah! Tangisanmu talah memutuskan tali jantungku!.” Fatimah berkata, “Bagaimana aku tidak akan menangis. Aku telah kehilangan ayahku, seorang ayah terbaik dan Nabi yang paling utama. Alangkah rindunya aku kepada Rasulullah.”

Diatas pusara ayahnya, Fatimah dengan penuh kesedihan meneteskan airmata seraya merintih, “Katakan pada Manusia yang tinggal ditanah ini...Andai kau dengar seru perih hatiku…Ragam petaka telah menimpaku…Kalau saja ia menimpa siang…Ia akan berubah menjadi malam…Kujadikan duka sebagai pelipur laraku…Dan tangis untukmu sebagai perhiasanku...Patutkah bagi orang yang pernah mencium pusara Ahmad…Takkan lagi mereguk aroma semerbak wangi…?”

Dan, Ali bin Husain, sering menangis, karena selama 35 tahun sisa hidupnya, tidak seharipun beliau lewatkan untuk meneteskan airmata mengenang tragedi pembantaian dan penganiayaan terhadap ayahnya, Alhusain, diKarbala beserta keluarga dan sahabatnya. Tiada dihidangkan kepadanya makanan atau minuman, terkecuali Beliau menangis, hingga pelayannya berkata, “Kupersembahkan jiwaku untukmu wahai putra Rasulillah! Aku khawatir engkau akan binasah lantaran tangisanmu yang tiada henti!?” Beliau menjawab, “Aku keluhkan kesedihan dan dukaku hanya kepada Allah. Aku mengetahui banyak hal dari Allah yang kamu tidak tahu. Setiap saat aku mengingat pembantaian Bani Fatimah, maka secara spontan airmataku mengalir tak tertahankan.”

Selama 35 tahun sisa hidup Beliau (setelah tragedi Karbala), Beliau menjalani hidup di Madinah beserta keluarga dan pecintanya dibawah pengawasan dan control langsung para pemimpin zalim yang selalu memantau dan mengintai setiap gerak-gerik mereka serta mengekang, mengintimidasi, mengancam dan menteror mereka, sehingga Beliau tidak leluasa dalam berdakwah dengan lisan dan hanya berdakwah secara sembunyi-sembunyi terhadap beberapa orang tertentu saja. Maka, Imam Ali Zainal Abidin menjadikan tangisan sebagai senjata, media dan strategi dakwah Beliau dengan memanfaatkan setiap kesempatan (yang Beliau dapatkan dihadapan khalayak umum) untuk meneteskan airmata dalam mengenang pengorbanan Imam Husain as, guna membangkitkan semangat keislaman yang memiliki keimanan dan prinsip yang kokoh dalam menolak menjalani kehidupan dalam kehinaan, menebar kasih sayang, mengayomi kaum lemah dan membenci hingga bangkit melawan kaun zalim.

Dalam sejarah juga tercatat bahwa semenjak kelahiran Alhusain, sering kali Rasulullah saaw (sayyidulbakkaa’un) Nampak bersedih dan sesenggukan menangisi penderitan yang akan menimpa Alhusain, yang juga di ikuti oleh Fatimah, Ali dan para sahabat, walaupun peristiwa itu belum terjadi. Rasulullah saaw bersabda, “Wahai Fatimah! Semua mata akan menangis di hari kiamat, kecuali mata yang pernah menangis atas musibah yang menimpa Alhusain. Sungguh mata itu akan tersenyum gembira di hari kiamat dan mendapatkan nikmat surga.”

Dan sebelum itu, Rasulullah saaw juga sering terlihat menangisi kepergian Abu Thalib dan Khadijah (hingga dikenal dengan sebutan Aam Khuzun atau tahun kesedihan), juga terhadap Hamzah, ja’far attayyar dan lainya. Rasulullah saaw bersada, “Sesungguhnya tangisan adalah rahmat Allah yang Ia letakkan dihati hamba-Nya.”

Niat dan tujuan tangisan yang bermanfaat
Secara keseluruhan, tangisan para manusia-manusia suci ini terbagi menjadi dua jenis tangisan :
yang pertama, yaitu tangisan dihadapan Allah swt.

Rasulullah saaw bersabda, “Tiada tetesan yang lebih dicintai oleh Allah, melebihi dua tetesan; tetesan darah dijalan Allah dan tetesan airmata dikegelapan malam karena takut kepada-Nya.”
Imam Ali bin Abi Thalib berkata, “Menangis karena takut kepada Allah akan membuat hati menjadi tenang dan menghindarkan seseorang dari mengulang dosa.”

Imam Husain berkata, “Menangis lantaran takut kepada Allah adalah keselamatan dari siksa neraka.”
Dalam tangisannya Imam Ali Zainal Abidin pernah berkata, “Mendapatkan rahmat seseorang yang airmatanya menetes karena takut kepada Allah.”

Imam Ja’far berkata, “Aku menemukan cahaya dalam tangisan dan sujud.” Dan, “Posisi yang paling dekat antara seorang hamba dengan Tuhannya, adalah pada saat ia sujud dalam keadaan menangis.”
Dan yang kedua, yaitu tangisan dihadapan para ahli surga.

Rasulullah saaw bersabda, “Orang yang meninggal tidak akan mempunyai kenangan di dunia (yang bisa diambil sebagai suritauladan), jika tidak ada orang yang mengekalkan penghormatan kepadanya.” Salah satu penghormatan terbaik yang di ajarkan alqur’an adalah menangisi kepergiannya, “Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka tinggalkan, dan kebun-kebun serta tempat yang indah, dan (juga) kesenangan-kesenangan yang mereka nikmati. Demikianlah (perlakuan mereka), sehingga Kami wariskan semua itu kepada kaum yang lain. Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka tidak diberi tangguh.” (Qs. Addukhan, 25-29) Karena mereka merupakan orang-orang yang tidak bersyukur, tidak berguna bagi orang lain dan melakukan berbagai kerendahan nilai terhadap masyarakat, sehingga para penduduk langit dan bumi tidak memperdulikannya apalagi menangisinya, dan sebaliknya, terhadap orang-orang baik nan mulia dan berguna bagi masyarakat maka mereka menangisi keberpisahan diantara mereka yang sesaat maupun selamanya (wafat).

Rasulullah saaw terlihat sangat marah sekali ketika mengetahui tiada seorangpun yang menangisi kesyahidan pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib, di medan Uhud, terlebih lagi Beliau mengetahui para syuhada’ dari Anshar ditangisi oleh handaitolannya masing-masing. Dengan penuh kesedihan Beliau bersabda, “Akan tetapi pamanku (Hamzah) tiada yang menangisinya.” Mendengar itu, orang-orang Anshar segera mengutus tiap seorang dari kalangan mereka untuk berbelasungkawa kerumah Hamzah, kemudian Rasulullah saaw besabda, “Jika ada orang yang meninggal dunia seperti Hamzah hendaklah ada yang menangisinya.” “Keringnya airmata (terhadap suatu musibah) adalah tanda dari kerasnya hati. Itulah penyakit terparah yang menimpa anak cucu adam.”

Secara keseluruhan tangisan manusia-manusia surgawi ini merupakan jenis tangisan yang memiliki makna, bertujuan, penuh berkah maupun rahmat dari Allah dan sebagai suritauladan bagi ummat, terlebih lagi Rasulullah sering terlihat melakukannya bahkan memerintahkannya.

Allah swt berfirman, “Dan tiadalah yang diucapkanya itu berdasarkan hawa nafsunya melainkan hanya berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (Qs. Annajm, 3-4) Lalu Allah mensifatinya, “Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi-pekerti yang agung.” (Qs. Alqalam, 4) Dan, “Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat uswatun hasanan (suritauladan yang baik) bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah… “ (Qs. Alahzab, 21) Kemudian Allah perintahkan Manusia mengikutinya, “Dan apa-apa yang datang dari Rasul maka ambillah, dan apa-apa yang dilarangnya maka juhilah.” Maka “Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Qs. Alimran, 31)

Imam Ja’far as berkata, “Jika tangismu tak kunjung tiba, maka berpura-puralah menangis! (berlakulah seperti orang yang sedang menangis atau berusahalah untuk mewujudkan suasana yang dapat membuatmu meneteskan airmata). Dan apabila kemudian engkau berhasil meneteskannya walau hanya sebesar kepala lalat, maka ucapkanlah selamat!” Mengapa? Rasulullah saaw bersabda, “Wahai Aba Dzar! Sesungguhnya Tuhanku telah mengabarkan kepadaku, Ia berkata, ‘Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, para penyembah-Ku belum memahami arti tangisan dan airmata (untuk meraih keridhaan-Ku), padahal sungguh Aku akan dirikan bagi mereka ditingkat surga yang paling tinggi (arrafiqul a’la) sebuah istana, yang hanya akan dihuni oleh mereka (selainnya tidak di izinkan masuk).’”

Manfaat manangis dari sisi ilmu kedokteran
Dalam berbagai penelitian ilmiah kedokteran perihan airmata menyebutkan bahwa tangisan dan tetesan memiliki pengaruh maupun manfaat yang besar dan bermacam-macam bagi kesehatan manusia dan kemajuan permedisan. Diantaranya adalah :

a. Dapat menghindarkan manusia dari penyakit psikis dan setidaknya dapat mengurangi tekanan mental dan jiwa. Bahkan dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa wanita memiliki usia yang lebih panjang dibandingkan pria, dikarenakan wanita lebih mudah meluapkan tekanan emosinya, beban pikirannya, stress dan tekanan mentalnya dengan menangis, sehingga mereka lebih nyaman dan tentram, dan sebagai hasilnya kesehatan fisik, psiki, jiwa, dan hati mereka lebih terpelihara. Berbeda dengan pria yang lebih memilih memendamnya dalam hati.
b. Orang yang sering menangis lebih terjaga dari berbagai keluhan kesehatan yang diakibatkan stress, seperti penyakit lambung atau maag, insomnia atau susah tidur dll.
c. Menjaga kesehatan mata, karena setiap keluarnya airmata maka akan keluar juga suatu enzim yang berfungsi membersihkan mata dan menjaganya tetap steril dari kuman-kuman yang dapat merusak kornea mata.
d. Tetesan airmata juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi berbagai penyakit dalam.

Akhiranya…semoga Allah swt memberi kita karunia dan taufik untuk dapat mengambil manfaat dari suritauladan mereka alaihimussalam…

Sebuah artikel kiriman dari Akhu Ridha di Slawi

Tidak ada komentar: